H. Andri Setiawan Hamami bersama Ibu Eva S Rahmatillah mengikuti kegiatan "papajar" menjelang puasa pada hari Minggu, 11 April 2021.
Istilah "Papajar" atau pelesiran sebelum memasuki bulan Ramadlan merupakan salah satu tradisi di Tatar Pasundan. Meskipun demikian, dapat saja tradisi yang mirip dengan "Papajar" ini dimiliki juga oleh negara berpenduduk mayoritas penganut Islam. Tradisi dalam menyambut dan setelah memasuki bulan Ramadlan di Nusantara memiliki kemiripan dan ini merupakan akulturasi antara tradisi atau kebiasaan masyarakat dengan ajaran Islam.
Bahkan, jika saja kita harus jujur mengakui sejarah dan perjalanan proses Islamisasi di Nusantara, cara akomodatif terhadap tradisi masyarakat menjadi strategi paling ampuh yang dapat membantu para penyebar Islam mengenalkan hingga menginternalisasikan ajaran Islam kepada penduduk Nusantara yang telah terlebih dahulu "bertuhan". Salah satu contohnya, tradisi papajar, munggahan, ziarah kubur yang biasa dilakukan beberapa hari menjelang puasa, mandi besar atau dalam tradisi Sunda disebut dengan kuramas (keramas, sebuah kata yang memiliki padanan makna dengan kata kremasi, menyucikan diri atau peleburan).
Jika dicermati melalui pendekatan bahasa, istilah papajar telah mengalami perluasan makna. Istilah ini berasal dari dua kata, mapag pajar atau menyambut pajar terbit. Secara etimolologis, kata pajar berarti waktu subuh, merupakan awal umat Islam menjalakan ibadah puasa. Hal ini merujuk pada definisi shaum yaitu menahan dari berbagai hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Di masyarakat Sunda, kata pajar ini memiliki kata tersendiri yaitu balebat. Mapag pajar merupakan tradisi umat Islam di Tatar Pasundan di mana masyarakat berkumpul bersama sambil menantikan fajar awal Ramadhan terbit. Perluasan makna papajar ini telah memunculkan kebiasan baru, masyarakat tidak lagi mengisi kegiatan papajar dengan menantikan terbit fajar melainkan mengisinya dengan kegiatan pelesiran atau bepergian ke tempat jauh, obyek wisata, dilakukan beberapa hari menjelang puasa. Hal tersebut dilakukan, mungkin saja ada anggapan dalam masyarakat sendiri, bepergian apalagi berwisata di bulan Ramadlan memang hal yang musykil meskipun dapat saja dilakukan.
Selain "Papajar", masyarakat Sunda juga mengenal istilah "Munggahan", satu hari sebelum memasuki bulan Ramadlan. Istilah ini berasal dari kata "unggah" artinya menempati posisi tertinggi, hal ini sangat logis karena tradisi menyiapkan berbagai keperluan menjelang puasa atau satu hari sebelum Ramadlan dilakukan di puncak bulan Syaban arau Rewah. Di hari "Munggahan" ini biasanya umat Islam benar-benar menyiapkan penganan dari daging sebagai makanan yang akan dikonsumsi saat makan sahur. Belakangan, kata unggah ini digunakan pada istilah kontemporer sebagai padanan dari kata upload dalam bahasa Inggris.
Selain bersilaturahmi dengan handai taulan, umat Islam juga telah terbiasa melakukan tradisi ziarah ke makan para leluhur. Dari tradisi ini dapat saja diasumsikan bulan Syaban dalam penanggalan hijiriyah disebut dengan Ruwah atau Rewah dalam bahasa Jawa dan Sunda yang berarti berkumpulnya ruh yang termanifestasi (manusia hidup) dengan ruh alam yang berjarak (barzakh) manusia yang telah meninggal. Dalam tradisi Islam alam antara dunia dengan akhirat dikenal dengan sebutan barzakh. Hal tersebut tidak berarti menunjukkan alam imajinatif atau angan-angan melainkan menunjukkan keterikatan antara manusia yang masih hidup dengan yang telah meninggal masih tetap terjalin. Istilah ruwatan juga diperkenalkan oleh para wali sebagai bentuk kegiatan membersihkan tempat, benda, dan manusia sendiri dari pengaruh jiwa jahat.
Tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadlan merupakan kebiasaan masyarakat Nusantara. Para wali mengenalkan tradisi ini dengan sebutan “nyadran”, situasi yang menggambarkan karakteristik paguyuban atau Gemeinschaft. Nyadran merupakan bentuk pengakuan dan kesadaran manusia atas ketidakmampuan manusia di dalam memahami kecamuk realitas yang begitu kompleks.
Dalam pandangan Koentjaraningrat, sebagian besar masyarakat di Nusantara telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur.
Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Nusantara terutama yang menganut Islam untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci menjelang puasa untuk mencari berkah.
Keberimbangan Ajaran dan Tradisi
Catatan atau literatur tentang tradisi papajar di masyarakat ini memang masih belum dapat mendukung kebiasaan masyarakat Nusantara kuno mengenal dan mengaplikasikan papajar dalam kehidupan mereka. Paling tidak, tradisi di dalam agama Hindu dan Budha serta agama leluhur Nusantara, Kapitayan telah menjadi benang merah bahwa tradisi menjelang puasa telah berkembang di Nusantara sebelum terjadi konversi besar-besaran penduduk Nusantara dari keyakinan lama kepada Islam. Akar tradisi di masyarakat inilah yang kemudian dimodifikasi oleh para penyebar Islam di daerah pedalaman sebagai bentuk kejeniusan para wali dalam mengembangkan iklim sosial kultural yang tidak dapat dielakkan karena sebagai bagian dari keniscayaan hukum alamiah dalam kehidupan.
Tradisi yang terbentuk di masyarakat Nusantara merupakan perwujudan keberimbangan antara nilai sosial dan spiritual mereka. Masyarakat Nusantara telah mampu memanifestasikan karakteristik mereka ke dalam kehidupan. Beberapa ciri khusus masyarakat Nusantara yang membawa pengaruh pada perjalanan kehidupan sampai sekarang antara lain; pertama, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyebab utama dengan segala kebesaran dan kemahakuasaan-Nya. Kedua, masyarakat Nusantara lebih memperlihatkan corak hidup idealistis, lebih memilih kepada sesuatu yang bersifat immaterial, nir-materi, bukan kebendaan, lebih menghormati hal bersifat adikodrati atau supernatural.
Masa formatif kemunculan tradisi-tradisi yang menunjukkan keseimbangan dengan keyakinan ini telah memperkuat pandangan bahwa masyarakat Nusantara lebih mengutamakan cinta dan kasih sebagai landasan pokok hubungan mereka dengan sesama manusia. Setelah para wali memperkenalkan ungkapan “Ngallah” atau memasrahkan segala urusan kepada Tuhan, pada babak selanjutnya istilah ini dibakukan menjadi kata kalah, masyarakat Nusantara lebih cenderung bersikap pasrah, universal, non-sektarian, dan benar-benar mengembangkan hidup paguyuban.
Melalui pendekatan kultural inilah para wali dapat memformulasikan antara ajaran Islam dan tradisi masyarakat dalam bentuk-bentuk yang bersifat simbiosis mutualisma, tradisi tidak membatalkan pokok-pokok ajaran, sementara ajaran agama sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai penghukum terhadap tradisi.
Wali songo menyadari sepenuhnya, masyarakat Nusantara memiliki pandangan utuh terhadap Hamemayu Hayuning Buwana, menata keindahan dunia. Di masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan reugreug pageuh répéh rapih. Dalam masyarakat seperti ini tidak akan dikenal penyebaran ajaran agama melalui pendekatan perang dan dominasi. Itulah sebabnya di awal masa pembentukan masyarakat muslim Nusantara saat penyebaran Islam dilakukan secara personal komunal oleh para sufi tidak dikenal perlawanan hingga pertempuran.
Tradisi Menjelang Ramadan Masyarakat Milenial
Tradisi yang telah berlangsung lama telah menjadi benih perkembangan kebiasaan lain yang terus mengalir sampai sekarang. Meskipun beberapa tradisi hampir tidak dilakukan lagi oleh masyarakat, di sisi lain tradisi-tradisi baru dan bersesuaian dengan perkembangan jaman juga tumbuh berkembang. Kebiasaan baru yang dilakukan oleh generasi milenial menjelang Ramadan secara substantif tidak jauh berbeda dengan tradisi-tradisi silam.
Generasi milenial terkonsentrasi pada komunitas-komunitas, bercengkerama dengan sesama mereka di cafe dan kedai kopi merupakan cara mereka dalam menyambut bulan Ramadan. Topik dan tajuk obrolan mengkerucut pada tema-tema tentang puasa.
Harus diakui, meskipun secara substantif antara tradisi masa silam dengan era milenial tidak menunjukkan hal tidak terlalu jauh berbeda, walakin dalam hal tertentu terutama antara tradisi masa silam yang lebih supernatural dengan kebiasaan kontemporer yang material menjadi ciri khusus masing-masing tradisi pada jamannya.
Tradisi menjelang Ramadan di masa silam benar-benar menjaga ikatan dan hubungan antar anggota masyarakat dalam satu wilayah atau wewengkon. Sementara kebiasaan di era millenial ini ikatan yang terbentuk lebih bersifat longgar, anggota masyarakat dari satu daerah bisa bergabung dan menjadi bagian dari komunitas tertentu. Hal tersebut terjadi sebagai dampak dari mobilitas manusia yang semakin cepat, mudah, dan tidak dibatasi lagi oleh ruang kewilayahan.