Kota Batu, Apel, dan Coban Rondo

Kunjungan kerja hari kedua dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa kawasan dan destinasi wisata di Kota Batu, sebuah kota baru, berusia 12 tahun namun dapat dikatakan telah dapat mengejar dua kota tetangganya dalam berbagai aspek pembangunan.




Dialog Kunjungan Ke Malang dan Batu


Kota Batu – bagi saya sebagai orang Sukabumi – tidak berbeda dengan kondisi di Sukabumi terutama dalam hal cuaca, dingin dan memiliki kontur alam bergelombang, berbukit, serta di apit oleh beberapa gunung seperti; Gunung Putri Tidur, Gunung Vanderman, Gunung Bromo, dan Gunung Banyak. Tidak mengherankan di daerah ini terdapat perkebunan apel, strawberry, dan sayur-mayur.

Destinasi wisata yang dibangun dan dikelola oleh pihak swasta juga memiliki kemiripan dengan beberapa obyek wisata yang terdapat di Sukabumi. Obyek wisata Selecta Kota Batu sangat identik dengan obyek wisata Pangrango dan Selabintana. Perbedaan mencolok antara Kota Batu dengan Sukabumi yaitu pengelolaan berbagai obyek wisata diserahkan oleh pemerintah kepada pihak swasta dan para investor. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap begitu maraknya berbagai obyek wisata di Kota Batu. Dalam satu kecamatan saja dapat dijumpai empat hingga lima obyek wisata.

Dampak lain sebagai akibat pembangunan dan pengelolaan obyek wisata oleh pihak swasta yaitu; obyek-obyek wisata yang dihasilkan begitu beragam dan memiliki varian yang unik. Sebuah desa hingga lingkungan ke-RT-an pun dapat dibuat dan dijadikan obyek wisata desa dengan menawarkan potensi-potensi baik socsal, kultural, atau natural. Dalam hal pariwisata, pemerintah benar-benar hanya memfasilitasi saja seperti perijinan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan regulasi atau kebijakan.

Wisata alam yang dikunjungi oleh kami yaitu Coban Rondo, sebuah air terjun dengan ketinggian 29 meter di Kota Batu. Coban Rondo jika diterjemahkan secara harfiah berarti Curug Janda, sebuah air terjun yang didesain dengan bumbu cerita rakyat (folklore) seorang putri, Dewi Anjarwati yang menikah dengan Raden Baron.

Anjarwati melanggar masa selapan sebuah tradisi Jawa di mana pasangan pengantin baru diharuskan diam di rumah selama waktu tertentu (36 hari). Anjarwati keluar rumah, kecantikannya dilihat oleh seorang lelaki bernama Joko Lelono. Asmara yang menyelimuti Joko Lelono berubah menjadi angkara, dia harus mendapatkan Anjarwati dengan cara apapun, bila perlu merebut dari suaminya, Raden Baron.

Pertempuran hebat antara Raden Baron dengan Joko Lelono telah menewaskan kedua lelaki itu. Anjarwati bersembunti di balik curahan air terjun hingga keberadaannya tidak diketahui lagi oleh masyarakat sekitar. Persembunyian Anjarwati di balik air terjun itu menjadi sebuah kisah rakyat di kemudian hari menjadi asal-usul penamaan Coban Rondo untuk air terjun ini.

Sukabumi juga memiliki destinasi wisata berupa air terjun. Bahkan di sekitar obyek wisata Geo-park Ciletuh dapat ditemui beberapa air terjun. Kisah-kisah dan cerita rakyat yang menyertai keberadaan air terjun di Sukabumi pun begitu beragam. Beberapa kelemahan Sukabumi baik secara regulasi pemerintah atau juga tekad yang kuat dari masyarakat yaitu paradigm dan mindset saja.

Pemerintah dan beberapa LSM Pariwisata yang dibantu oleh berbagai komunitas memerlukan waktu hingga 16 tahun untuk mengibah paradigm masyarakat Kota Batu dan Malang agar benar-benar dapat mewujudkan kota mereka sebagai kota wisata atau kota pariwisata. Bagaimana mereka dapat memberikan pemahaman agar para pedagang kaki lima (PKL) dapat direlokasi ke Pasar Laron,bagaimana mereka memberikan pemahaman kepada setiap pengusaha kecil dan menengah agar dapat menstabilkan harga souvenir, dan bagaimana mereka memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak seenaknya menentukan harga kepada para pengunjung. Itu yang dilakukan selama 16 tahun oleh Pemerintah Kota Batu dan Malang.

Upaya dan langkah strategis selama enam balus tahun itu telah menghasilkan perubahan yang cukup signifikan. Paradigma masyarakat telah berubah bukan lagi bagaimana mereka mendapatkan jatah kue dari pemerintah melainkan bagaimana mereka dapat menarik para pengunjung dari daerah lain hingga manca negara untuk datang ke Batu dan Malang. Di Jodipan, sebuah perkampungan kumuh yang disulap menjadi Kampung Warna-warni, seorang perempuan dapat menghasilkan omzet hingga Rp. 800.000,- perhari dari hasil penjualan kopi, cilok, dan jajanan lainnya.

Kang Warsa

Informasi Lainnya

Tak ada informasi apa pun di sini.
Berlangganan