Kisah-kisah Keluarga Hamami (Bagian 7)

Di dalam kisah bagian ke-enam ini dipaparkan bagaimana kecintaan seorang pejuang dan pengusaha seperti H. Oting kepada keluarganya. Beliau selalu memberikan nasehat-nasehat agar keluarga dapat mengaplikasikan kebaikan di dalam kehidupan -Kang Warsa-

Praktik Nasehat H. Oting dalam Kehidupan Keluarga

Nasehat H.M. Oting ketika masih hidup ditujukan kepada pihak keluarga dan diaplikasinnya di dalam kehidupan. Nasehat-nasehat ini memiliki tujuan antara lain; menyatukan pihak keluarga, berbakti kepada lingkungan di mana hidup sebagai bentuk dari perjuangan yang pernah ditempuh oleh H. Oting di era sebelum dan sesudah kemerdekaan, dan mengajak siapa saja terutama masyarakat Sukabumi untuk bersikap tidak pantang menyerah di dalam kehidupan.
Nasehat merupakan pikukuh atau aturan tidak tertulis yang telah berkembang di masyarakat sejak sekian lama, terutama di masyarakat Sunda yang memiliki khazanah peradaban lisan atau pitutur. Pikukuh dalam bentuk nasehat merupakan salah satu tradisi di masyarakat Sunda. Nasehat telah diyakini sebagai hal sakral dan harus diikuti oleh anak-cucu karena tidak diucapkan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu dari pihak keluarga inti secara hierarkis- yang dapat menyampaikan nasehat kepada keturunannya dan pada waktu tertentu.
Unsur  kearifan lokal sangat tampak dalam Nasehat H. Oting kepada keluarganya. Isi nasehat pertama harus bersatunya keluarga dalam satu ikatan merupakan elaborasi dari pikukuh karuhun Sunda seperti; pitutur pertama merupakan elaborasi dari  Paheuyeuk-heuyeuk leungeun, paantay-antay tangan.  Nasehat kedua dan selanjutnya merupakan elaborasi dari pikukuh: akur jeung dulur salembur, akur jeung batur, soméah ka sémah, silih asah, silih asih, jeung silih asuh.  Tentang perjuangan di dalam hidup dan pantang menyerah merupakan aplikasi dari pitutur hirup lain saukur nanggeuy gado tapi kudu disanghareupan ku gawé rancagé.
Kecuali hal tersebut di atas, nasehat paling penting yang telah disampaikan oleh H. Oting kepada anak-cucunya yaitu jangan sekali-kali meninggalkan sholat dan hidup harus benar-benar dekat dengan Tuhan. Diakui oleh pihak keluarga, Menurut  H. Andri Setiawan Hamami, nasehat yang telah diamanatkan oleh H. Oting kepada keluarga telah menjadi motor penggerak atau jiwa bagi keberlangsungan tumbuh kembangnya keluarga. Peran-peran keluarga besar H. Oting tidak pernah terlepas dari nasehat atau pitutur sebagai seorang tentara yang benar-benar menjaga warisan leluhurnya sebagai orang Sunda.
Beberapa contoh nasehat yang pernah diucapkan oleh H. Oting dan ini merupakan nasehat-nasehat yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat antara lain:
a)        Kudu daék cape lamun hayang senang. (Harus bekerja keras kalau ingin mendapatkan kebahagiaan). H. Oting dalam nasehatnya sering mengingatkan agar keluarga dan kerabat terdekat harus bekerja keras jika ingin mendapatkan kebahagiaan. Ajakan dan nasehat ini merupakan upaya bagaimana seorang pejuang benar-benar mengejawantahkan antara semangat dan etos kerja dengan ibadah kepada Allah SWT.
b)        Kudu diajar Saumur hirup. (Harus belajar seumur hidup).
c)        Kudu akur jeung pamaréntah tapi ulah barang pénta. (Harus akur dengan pemerintah tapi jangan suka meminta-minta). H. Oting sejak mendirikan perusahaan tidak pernah melakukan kritik berlebihan tetapi selalu mengikuti aturan-aturan formal dan hukum positif yang berlaku. Dengan semakin besarnya perusahaan yang dididirikan oleh H. Oting tidak menjadi alasan bagi beliau meminta-minta fasilitas kepada pemerintah meskipun ada kedekatan antara beliau dengan pemerintah.
d)        Kudu bisa nganjang ka pagéto[1] (Harus bisa melihat ke masa depan, harus bisa memprediksi masa yang akan datang). Peribahasa dalam Bahasa Sunda ini menyiratkan agar pihak keluarga selalu waspada terhadap kemungkinan dari tindakan di masa sekarang terhadap hal-hal atau kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
e)        Sing asak-asak ngéjo bisi tutung tambagana, sing asak-asak nénjo bisi kaduhung jagana.[2] (Harus berpikir jernih sebelum bertindak karena penyesalan tidak datang di awal tetapi selalu di akhir). Melalui peribahasa ini H. Oting mengajak kepada keluarga agar selalu menggunakan nalar dan akal sehat dalam bertindak, sebelum mengucapkan sesuatu harus dipikirkan terlebih dahulu secara matang.
f)         Ulah ngawaru ku siku. [3](Jangan serakah). Dalam hal menuntut berusaha pun, H. Oting sering memberikan arahan kepada keluarga agar tetap sabar dan telaten. Keuntungan harus diraih dengan penuh kesabaran, tidak tergesa-gesa. Harus tetap seperti air yang mengisi sebuah gelas, meskipun sedikit-seikit tetapi akan memenuhi gelas tersebut.
g)        Kudu miindung ka waktu jeung mibapa ka jaman.[4] (Harus adaptasi terhadap kemajuan zaman). H. Oting tidak pernah membebani keluarga atau anak-cucunya dengan keharusan mengikuti hal-hal duniawi yang senantiasa berubah. Sebagai manusia tetap harus mengikuti dan dapat  mengikuti perkembangan zaman. Segala sesuatu tetap berubah dan selalu berubah oleh karenanya harus diikuti dengan tidak mengaburkan keyakinan yang ada.
h)        Paantay-antay tangan, silih rojong dina migawé kahadéan.[5] (Bekerjasama dalam melakukan kebaikan). Dalam ajaran Islam dikenal konsep berjamaah lebih utama daripada melakukan kebaikan secara sendiri-sendiri. Siapa saja terutama keluarga diajak oleh H. Oting untuk melakukan kebaikan secara bersama-sama karena dengan kebersamaan akan menghasilkan hal yang lebih baik daripada dikerjakan secara sendiri-sendiri.
i)          Muja lain ka sagara, munjung lain ka gunung. Tapi, kudu muja ka bapa jeung munjung ka indung.[6] (Menghormati bukan kepada lautan dan gunung, tetapi kepada ibu dan bapak). Peribahasa ini merupakan aplikasi dari beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits yang mengharuskan anak menghormati kedua orangtua.
j)          Sareundeug saigel sabobot sapihandéan.[7] (Kehidupan paling utama adalah yang menjaga kerukunan dan kekompakan). H. Oting sering memberikan nasehat kepada keluarga dan anak-cucunya agar tetap menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Perusahaan-perusahaan yang dibangun merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, tidak bisa lepas dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Perusahan dan orang-orang yang ada di dalamnya diharuskan menjaga etika dan moral serta adab yang dijalankan di dalam masyarakat.
k)        Mipit kudu amit, ngala kudu ménta.[8] (Mengambil segala sesuatu harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik sesuatu).
l)          Hadé ku omong, goréng ku omong. (Baik dan buruk harus diucapkan atau segala sesuatu harus dikomunikasikan, atau kebaikan dan keburukan seseorang ditentukan oleh ucapan sendiri). H. Oting tidak memiliki karakter diktator dalam dirinya. Watak yang tercermin dari manusia Sunda adalah tidak berkuasa lantas melampaui kekuasaan itu sendiri. Beliau sering mengkomunikasikan setiap persoalan apa saja baik kepada keluarga maupun kerabat terdekat. Setiap persoalan harus dibahasakan terlebih dahulu.
m)      Ulah boga sifat adab lanyap.[9] (Berpura-pura baik dan hormat kepada orang lain namun pada akhirnya lebih suka bersikap kurang ajar). Nasehat H. Oting ini merupakan salah satu etika yang telah lama dibahasakan oleh masyarakat Sunda dari satu generasi kepada generasi. Menihilkan sikap adab lanyap dalam bersikap merupakan hal yang harus ada dalam diri anggota keluarga agar sikap tawadlu dan sebenar-benarnya santun mewujud dalam kehidupan.
n)        Ulah boga sifat Adam lali tapel. (Jangan memiliki sifat melupakan saudara sendiri). Masyarakat Sunda merupakan kelompok manusia yang hidup di dua lingkungan, pegunungan atau huma dan bantaran sungai[10], telah menjadi tradisi dalam masyarakat ini ikatan kekeluargaan dan kekerabatan terjalin begitu kuat tidak hanya didasarkan oleh garis keturunan sebagai manusia juga disebabkan oleh ikatan-ikatan lain. Dalam berusaha , H. Oting sering menyampaikan nasehat  agar tali kekerabatan dan kemanusiaan benar-benar tumbuh dalam diri siapapun, terutama kekerabatan yang disebabkan oleh ikatan keluarga.
o)        Ulah adéan ku kuda beureum. (Jangan bangga dengan milik orang lain). Kebudayaan dan unsur-unsurnya yang berkembang di masyarakat merupakan asimililasi, akulturasi, dan difusi antara berbagai kebudayaan. Kendati pun demikian tidak berarti budaya yang diserap dari orang lain harus dijadikan kebangga berlebihan dari budaya yang berkembang di masyarakat sendiri atau local genius. H. Oting merupakan tokoh pejuang sekaligus pengusaha yang tidak pernah melupakan apalagi menghina budaya sendiri. Kepada keluarga beliau secara kontinyu dan terus-menerus menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses pergaulan atau komunikasi.
p)        Ulah sok adigung adiguna, gedé hulu, asa aing uyah kidul. (Jangan suka sombong, takabbur, merasa diri paling unggul). Salah satu nasehat yang disampaikan oleh H. Oting kepada keluarga adalah agar manusia senantiasa menjauhi sikap sombong dan takabur. Sebaliknya, sikap yang harus dimiliki dan diamalkan dalam kehidupan adalah sikap sopan dan santun. Santun merupakan sikap tidak tergesa-gesa, mau menempatkan tindakan dan ucapan di belakang nalar dan akal sehat. Sikap sopan dan santun ini juga bisa diartikan tidak memaksakan diri sendiri karena kesombongan atau kelebihan dalam diri.[11]
q)        Jadi jalma kudu alus panggung.[12] (Jadi manusia itu harus bagus atau kuat jasmani).
r)         Ulah ngagedékeun pasifatan alak-alak cumampaka. (Jangan membesarkan sifat merasa harus dipuji oleh orang lain). Berbuat kebajikan dan kebaikan harus didasari oleh sikap rela dan ikhlas tanpa harus mendapatkan pujian dan pujaan dari orang lain. H. Oting sering memberikan nasehat kepada keluarga agar lebih banyak menerima segala sesuatu sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Peribahasa yang digunakan oleh H. Oting dalam setiap ajakan atau nasehatnya tersebut tidak terbatas pada persoalan tindakan atau perilaku saja, dalam hal ucapan pun dinasehatkan kepada keluarga dan anak cucunya agar menghindari sikap alak-alak cumampaka,  bahasa yang harus digunakan dalam keseharian harus santun dan sesuai dengan etika Sunda. Sebab bahasa ini memiliki berbagai aspek baik kegunaan (use), makna (meaning), simbol (symbol), dan komunikasi (communication), artinya kegunaan bahasa – dalam pengungkapannya – terletak pada komunikasi yang baik dan bermakna.[13]
s)         Jauhan sifat ati mungkir beunguet nyanghareup. (Harus dijauhi sifat munafik). Hal paling berbahaya dalam diri manusia adalah munculnya sikap hipokrit seperti diunggkapkan dalam peribahasa ini. H. Oting sangat menekankan kepada keluarga agar menghindari sifat seperti ini. Kemunafikan merupakan pangkal kehancuran.




[1] Makna Leksikal atau kamusnya: Harus dapat mengunjungi hari lusa.
[2] Makna leksikalnya: Harus benar-benar matang dalam menanak nasi jangan sampai gosong jelaga atau pancinya.
[3] Makna leksikalnya: Jangan mengambil sesuatu dengan sikut.
[4] Makna leksikalnya: Harus menjadikan waktu dan zaman sebagai orangtua kita.
[5] Makna leksikalnya: Saling berpegangan tangan, saling bahu-membahu dalam mengerjakan kebaikan,
[6] Makna leksikalnya: Memuja jangan ke samudera, menjunjung tinggi jangan ke gunung, tetapi harus kepada bapa dan ibu sendiri.
[7] Makna leksikalnya: Satu irama satu gerakan.
[8] Makna leksikalnya: mengambil harus pamit dan meminta terlebih dahulu.
[9] Makna leksikalnya: jangan memiliki sikap sopan dan santun dengan kepura-puraan.
[10] Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak,  h.26.
[11] Dr Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 327-329.
[12] Makna leksikalnya: Manusia itu harus bagus saat manggung.
[13] Sofyan Sauri, Pendidikan Berbahasa Santun. (Bandung: Genesindo, 2006), h. 35.

Informasi Lainnya

Berlangganan