Praktik Nasehat H. Oting dalam Kehidupan Keluarga
Nasehat H.M. Oting ketika masih hidup ditujukan kepada pihak keluarga dan diaplikasinnya di dalam kehidupan. Nasehat-nasehat ini memiliki tujuan antara lain; menyatukan pihak keluarga, berbakti kepada lingkungan di mana hidup sebagai bentuk dari perjuangan yang pernah ditempuh oleh H. Oting di era sebelum dan sesudah kemerdekaan, dan mengajak siapa saja terutama masyarakat Sukabumi untuk bersikap tidak pantang menyerah di dalam kehidupan.
Nasehat merupakan
pikukuh atau aturan tidak tertulis yang telah berkembang di masyarakat sejak
sekian lama, terutama di masyarakat Sunda yang memiliki khazanah peradaban
lisan atau pitutur. Pikukuh dalam bentuk nasehat merupakan salah satu tradisi
di masyarakat Sunda. Nasehat telah diyakini sebagai hal sakral dan harus
diikuti oleh anak-cucu karena tidak diucapkan oleh sembarang orang. Hanya
orang-orang tertentu dari pihak keluarga inti secara hierarkis- yang dapat
menyampaikan nasehat kepada keturunannya dan pada waktu tertentu.
Unsur kearifan lokal sangat tampak dalam Nasehat H. Oting kepada keluarganya. Isi nasehat pertama harus bersatunya keluarga dalam
satu ikatan merupakan elaborasi dari pikukuh karuhun Sunda seperti; pitutur
pertama merupakan elaborasi dari Paheuyeuk-heuyeuk leungeun, paantay-antay
tangan. Nasehat kedua dan
selanjutnya merupakan elaborasi dari pikukuh: akur jeung dulur salembur, akur jeung batur, soméah ka sémah, silih
asah, silih asih, jeung silih asuh. Tentang
perjuangan di dalam hidup dan pantang menyerah merupakan aplikasi dari pitutur hirup lain saukur nanggeuy gado tapi kudu
disanghareupan ku gawé rancagé.
Kecuali hal tersebut
di atas, nasehat paling penting yang telah disampaikan oleh H. Oting kepada
anak-cucunya yaitu jangan sekali-kali meninggalkan sholat dan hidup harus
benar-benar dekat dengan Tuhan. Diakui oleh pihak keluarga, Menurut H. Andri Setiawan Hamami, nasehat yang telah
diamanatkan oleh H. Oting kepada keluarga telah menjadi motor penggerak atau
jiwa bagi keberlangsungan tumbuh kembangnya keluarga. Peran-peran keluarga
besar H. Oting tidak pernah terlepas dari nasehat atau pitutur sebagai seorang
tentara yang benar-benar menjaga warisan leluhurnya sebagai orang Sunda.
Beberapa contoh nasehat
yang pernah diucapkan oleh H. Oting dan ini merupakan nasehat-nasehat yang
tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat antara lain:
a)
Kudu daék cape
lamun hayang senang. (Harus bekerja keras kalau ingin mendapatkan kebahagiaan). H. Oting dalam nasehatnya sering mengingatkan agar keluarga dan kerabat terdekat harus
bekerja keras jika ingin mendapatkan kebahagiaan. Ajakan dan nasehat ini
merupakan upaya bagaimana seorang pejuang benar-benar mengejawantahkan antara
semangat dan etos kerja dengan ibadah kepada Allah SWT.
b)
Kudu diajar
Saumur hirup. (Harus belajar seumur hidup).
c)
Kudu akur jeung
pamaréntah tapi ulah barang pénta. (Harus akur dengan pemerintah tapi jangan suka meminta-minta). H. Oting sejak mendirikan perusahaan tidak pernah melakukan kritik berlebihan tetapi
selalu mengikuti aturan-aturan formal dan hukum positif yang berlaku. Dengan semakin
besarnya perusahaan yang dididirikan oleh H. Oting tidak menjadi alasan bagi
beliau meminta-minta fasilitas kepada pemerintah meskipun ada kedekatan antara
beliau dengan pemerintah.
d)
Kudu bisa
nganjang ka pagéto[1]
(Harus bisa melihat ke masa depan, harus bisa memprediksi masa yang akan
datang). Peribahasa dalam Bahasa Sunda ini menyiratkan agar pihak keluarga selalu
waspada terhadap kemungkinan dari tindakan di masa sekarang terhadap hal-hal
atau kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
e)
Sing asak-asak ngéjo bisi tutung tambagana, sing asak-asak nénjo
bisi kaduhung jagana.[2]
(Harus
berpikir jernih sebelum bertindak karena penyesalan tidak datang di awal tetapi
selalu di akhir). Melalui peribahasa ini H. Oting mengajak kepada keluarga agar
selalu menggunakan nalar dan akal sehat dalam bertindak, sebelum mengucapkan
sesuatu harus dipikirkan terlebih dahulu secara matang.
f)
Ulah ngawaru ku siku. [3](Jangan
serakah). Dalam hal menuntut berusaha pun, H. Oting sering memberikan arahan kepada
keluarga agar tetap sabar dan telaten. Keuntungan harus diraih dengan penuh
kesabaran, tidak tergesa-gesa. Harus tetap seperti air yang mengisi sebuah
gelas, meskipun sedikit-seikit tetapi akan memenuhi gelas tersebut.
g)
Kudu miindung ka waktu jeung mibapa ka jaman.[4] (Harus
adaptasi terhadap kemajuan zaman). H. Oting tidak pernah membebani keluarga
atau anak-cucunya dengan keharusan mengikuti hal-hal duniawi yang senantiasa
berubah. Sebagai manusia tetap harus mengikuti dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Segala sesuatu
tetap berubah dan selalu berubah oleh karenanya harus diikuti dengan tidak
mengaburkan keyakinan yang ada.
h)
Paantay-antay tangan, silih rojong dina migawé kahadéan.[5]
(Bekerjasama
dalam melakukan kebaikan). Dalam ajaran Islam dikenal konsep berjamaah lebih
utama daripada melakukan kebaikan secara sendiri-sendiri. Siapa saja terutama keluarga
diajak oleh H. Oting untuk melakukan kebaikan secara bersama-sama karena
dengan kebersamaan akan menghasilkan hal yang lebih baik daripada dikerjakan
secara sendiri-sendiri.
i)
Muja lain ka sagara, munjung lain ka gunung. Tapi, kudu
muja ka bapa jeung munjung ka indung.[6]
(Menghormati bukan kepada lautan dan gunung, tetapi kepada ibu dan bapak).
Peribahasa ini merupakan aplikasi dari beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits yang
mengharuskan anak menghormati kedua orangtua.
j)
Sareundeug saigel sabobot sapihandéan.[7]
(Kehidupan
paling utama adalah yang menjaga kerukunan dan kekompakan). H. Oting sering
memberikan nasehat kepada keluarga dan anak-cucunya agar tetap menjaga
keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Perusahaan-perusahaan yang dibangun merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat, tidak bisa lepas dengan keberadaan masyarakat
itu sendiri. Perusahan dan orang-orang yang ada di dalamnya diharuskan menjaga
etika dan moral serta adab yang dijalankan di dalam masyarakat.
k)
Mipit kudu amit, ngala kudu ménta.[8] (Mengambil
segala sesuatu harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik sesuatu).
l)
Hadé ku omong, goréng ku omong. (Baik dan buruk harus diucapkan
atau segala sesuatu harus dikomunikasikan, atau kebaikan dan keburukan seseorang
ditentukan oleh ucapan sendiri). H. Oting tidak memiliki karakter diktator
dalam dirinya. Watak yang tercermin dari manusia Sunda adalah tidak berkuasa
lantas melampaui kekuasaan itu sendiri. Beliau sering mengkomunikasikan setiap
persoalan apa saja baik kepada keluarga maupun kerabat terdekat. Setiap
persoalan harus dibahasakan terlebih dahulu.
m)
Ulah boga sifat adab lanyap.[9] (Berpura-pura
baik dan hormat kepada orang lain namun pada akhirnya lebih suka bersikap
kurang ajar). Nasehat H. Oting ini merupakan salah satu etika yang telah lama
dibahasakan oleh masyarakat Sunda dari satu generasi kepada generasi.
Menihilkan sikap adab lanyap dalam bersikap merupakan hal yang harus ada
dalam diri anggota keluarga agar sikap tawadlu dan sebenar-benarnya santun
mewujud dalam kehidupan.
n)
Ulah boga sifat Adam lali tapel. (Jangan memiliki sifat melupakan
saudara sendiri). Masyarakat Sunda merupakan kelompok manusia yang hidup di dua
lingkungan, pegunungan atau huma dan bantaran sungai[10],
telah menjadi tradisi dalam masyarakat ini ikatan kekeluargaan dan kekerabatan
terjalin begitu kuat tidak hanya didasarkan oleh garis keturunan sebagai
manusia juga disebabkan oleh ikatan-ikatan lain. Dalam berusaha , H. Oting sering
menyampaikan nasehat agar tali
kekerabatan dan kemanusiaan benar-benar tumbuh dalam diri siapapun, terutama
kekerabatan yang disebabkan oleh ikatan keluarga.
o)
Ulah adéan ku kuda beureum. (Jangan bangga dengan milik orang
lain). Kebudayaan dan unsur-unsurnya yang berkembang di masyarakat merupakan
asimililasi, akulturasi, dan difusi antara berbagai kebudayaan. Kendati pun
demikian tidak berarti budaya yang diserap dari orang lain harus dijadikan
kebangga berlebihan dari budaya yang berkembang di masyarakat sendiri atau local
genius. H. Oting merupakan tokoh pejuang sekaligus pengusaha yang tidak
pernah melupakan apalagi menghina budaya sendiri. Kepada keluarga beliau secara
kontinyu dan terus-menerus menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar
dalam proses pergaulan atau komunikasi.
p)
Ulah sok adigung adiguna, gedé hulu, asa aing uyah kidul. (Jangan suka
sombong, takabbur, merasa diri paling unggul). Salah satu nasehat yang
disampaikan oleh H. Oting kepada keluarga adalah agar manusia senantiasa
menjauhi sikap sombong dan takabur. Sebaliknya, sikap yang harus dimiliki dan
diamalkan dalam kehidupan adalah sikap sopan dan santun. Santun merupakan sikap
tidak tergesa-gesa, mau menempatkan tindakan dan ucapan di belakang nalar dan
akal sehat. Sikap sopan dan santun ini juga bisa diartikan tidak memaksakan
diri sendiri karena kesombongan atau kelebihan dalam diri.[11]
r)
Ulah ngagedékeun pasifatan alak-alak cumampaka. (Jangan membesarkan sifat merasa harus dipuji oleh orang lain). Berbuat
kebajikan dan kebaikan harus didasari oleh sikap rela dan ikhlas tanpa harus
mendapatkan pujian dan pujaan dari orang lain. H. Oting sering memberikan
nasehat kepada keluarga agar lebih banyak menerima segala sesuatu sesuai dengan
kenyataan yang terjadi. Peribahasa yang digunakan oleh H. Oting dalam setiap
ajakan atau nasehatnya tersebut tidak terbatas pada persoalan tindakan atau
perilaku saja, dalam hal ucapan pun dinasehatkan kepada keluarga dan anak cucunya agar menghindari sikap alak-alak cumampaka, bahasa yang harus digunakan dalam keseharian
harus santun dan sesuai dengan etika Sunda. Sebab bahasa ini memiliki berbagai
aspek baik kegunaan (use), makna (meaning), simbol (symbol),
dan komunikasi (communication), artinya kegunaan bahasa – dalam
pengungkapannya – terletak pada komunikasi yang baik dan bermakna.[13]
s)
Jauhan sifat ati mungkir beunguet nyanghareup. (Harus dijauhi sifat munafik). Hal paling berbahaya dalam diri manusia
adalah munculnya sikap hipokrit seperti diunggkapkan dalam peribahasa ini. H. Oting
sangat menekankan kepada keluarga agar menghindari sifat seperti ini.
Kemunafikan merupakan pangkal kehancuran.
[1] Makna Leksikal
atau kamusnya: Harus dapat mengunjungi hari lusa.
[2] Makna
leksikalnya: Harus benar-benar matang dalam menanak nasi jangan sampai gosong
jelaga atau pancinya.
[3] Makna
leksikalnya: Jangan mengambil sesuatu dengan sikut.
[4] Makna
leksikalnya: Harus menjadikan waktu dan zaman sebagai orangtua kita.
[5] Makna
leksikalnya: Saling berpegangan tangan, saling bahu-membahu dalam mengerjakan
kebaikan,
[6] Makna
leksikalnya: Memuja jangan ke samudera, menjunjung tinggi jangan ke gunung,
tetapi harus kepada bapa dan ibu sendiri.
[7] Makna
leksikalnya: Satu irama satu gerakan.
[8] Makna
leksikalnya: mengambil harus pamit dan meminta terlebih dahulu.
[9] Makna
leksikalnya: jangan memiliki sikap sopan dan santun dengan kepura-puraan.
[10] Nina Herlina Lubis,
Kehidupan Kaum Menak, h.26.
[11] Dr Muhammad
Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan
Akhlak Islami. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 327-329.
[12] Makna
leksikalnya: Manusia itu harus bagus saat manggung.
[13] Sofyan Sauri, Pendidikan Berbahasa Santun. (Bandung:
Genesindo, 2006), h. 35.