Kehidupan H. Oting Sebelum Pemberontakan DI/TII dan G 30 S PKI.
SETELAH negara ini merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945 kemudian disusul oleh berbagai peristiwa salah satunya revolusi
di Sukabumi [1]
terhadap peristiwa Agresi Militer Belanda, pergolakan di negara baru merdeka ini terus
berlanjut. Imbas pergolakan dari daerah lain mempengaruhi pusat yang pada
akhirnya terus berkembang dan memengaruhi daerah-daerah lain. Sukabumi sebagai
tempat strategis karena dekat dengan pusat kekuasaan selalu terkena dampak yang
besar oleh adanya pergolakan antar golongan, lebih tepatnya perebutan
kekuasaan.
Baru empat tahun
Indonesia merdeka, pada tanggal 7 Agustus 1949, S.M Kartosoewirjo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), sebelumnya dikenal
dengan sebutan Darul Islam [2]
(DI) pada masa Pergerakan Kemerdekaan tahun 1912. Tidak sedikit para laskar dan
badan perjuangan rakyat dari Hizbullah
dan Sabilillah tergoda oleh bujuk
rayu pendirian negara di dalam negara ini. Negara Islam Indonesia juga sering
disebut sebagai Negara Kurnia Allah (NKA).
S.M Kartosoewirjo mempropagandakan ‘perang sabil’ [3] terhadap
siapapun yang mencoba menghalangi berdirinya Darul Islam di Indonesia. Dalam pandangan NII, laskar-laskar
perjuangan selain Tentara Islam Indonesia merupakan lawan yang harus terus
diperangi. Pada pertengahan tahun 1953 dikeluarkan perma’luman atau pengumuman perang kepada pihak RIK [4]
yang berisi antara lain :[5]
“
Perangilah mereka (kafirin) itu, hingga lenjap-musnahlah (segenap) fitnah di
dunia. Bagi kita: RIK dan TRIK djahilin. Setiap muslim dan mudjahid wadjib
menolak bahaja dan bentjana jang ditimbulkan oleh perbuatan kafirin dan
djahilin RIK dan TRIK, ialah perbuatan djahanna jang njata-njata.”
Citra yang terbentuk
di masyarakat, karena gerakan ini dilakukan secara bergerilya sering disebut
oleh surat kabar atau koran-koran sebagai gerakan gorombolan [6]
DI/TII Kartosoewirjo. Kemudian
saat berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) di awal tahun 1950-an ,
pemerintah menyebutnya dengan Gerakan DI/TII. Pada akhirnya sebutan ini melekat di dalam
masyarakat.
Sebagai tentara
dengan latar belakang seorang nasionalis-religius, H. Oting bersama laskar-laskar
perjuangan yang ada di Sukabumi sama sekali tidak memiliki alasan yang kuat
untuk tergoda oleh propaganda DI/TII yang terus berkembang di Jawa Barat
kecuali harus melawan dan menghancurkan pendirian negara di dalam negara ini.
Dapat dikatakan, lima tahun setelah DI/TII atau Negara Kurnia Allah (NKA) diproklamasikan di Jawa Barat [7] oleh
S.M Kartosoewirjo gerakan kaum gorombolan
ini semakin terlihat lebih berani di Sukabumi. Daerah yang masih jarang
penduduknya dijadikan basis utama dan barak militer para gorombolan.
Tanpa merasa berdosa
karena doktrin yang dikembangkan dalam gerakan ini adalah penafsiran yang tidak
tepat terhadap ayat-ayat Jihad di dalam al-Quran, mereka melakukan
aktifitas-aktifitas yang benar-benar bertolak belakang dengan ajaran yang ada
di dalam Islam seperti; merampok harta kekayaan rakyat dengan dalih ghonimah,
hingga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pesaing
atau musuh Allah. [8]
Di daerah Parungséah [9],
Sukabumi, terdapat sebuah tempat dimana para penentang DI/TII ini dieksekusi
diberi nama Kampung Cipeuncit.
Terror atau ancaman
yang dilakukan oleh DI/TII memiliki kemiripan dengan gerakan kaum komunis di
Madiun pada tahun 1948. Mereka menebar isu dan ancaman penculikan, perampokan,
dan pembunuhan. Mayat-mayat yang telah dibunuh dengan sengaja disimpan di
pinggir jalan dengan maksud untuk menimbulkan rasa takut kepada masyarakat.
Penggunaan kata kafir
kepada para Tentara Kemanan Rakyat dan siapa pun yang menentang gerakan ini
dilakukan serupa dengan sebutan mereka kepada penjajah Belanda di masa sebelum
kemerdekaan, mereka menyebut pribumi yang tidak sehaluan dan sejalan dengan
mereka sebagai para “londo ireng” [10]. Adanya kemiripan teror dan ancaman antara kaum
komunis dengan gorombolan ini
menyulitkan masyarakat untuk membedakan mana saja peristiwa di masyarakat yang
dilakukan oleh kaum komunis atau gorombolan.
Di saat semakin
gencarnya gerakan kaum komunis dan gorombolan
tidak sedikit beberapa tempat telah
disiapkan sebagai peng-eksekusian para tentara, misalnya di Purabaya, menurut
penuturan H. Oting kepada H. Andri
Setiawan Hamami, di kampung Legoknangka, Purabaya telah disiapkan delapan
lobang (lomang) [11]
untuk mengubur hidup-hidup para
tentara dan kyai [12],
bisa jadi hal itu dilakukan oleh kaum komunis atau gorombolan. [13]
Bagi seorang tentara
seperti H. Oting yang telah memiliki pengalaman berjuang saat revolusi di
Sukabumi terjadi pada tahun 1945-1946, pergolakan yang terjadi pada saat itu
merupakan hal biasa namun tetap harus diselesaikan demi terciptanya kestabilan
di masyarakat Sukabumi. Para veteran revolusi Sukabumi yang telah bergabung di
dalam barisan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) telah memiliki tekad untuk
menyelamatkan negara secara semesta dari kudeta dan pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah.
Beberapa kesulitan
yang dialami oleh tentara dan para pejuang di Sukabumi dalam menghentikan
gerakan gorombolan DI/TII
Kartosoewirjo disebabkan oleh: gerakan tersebut menggunakan term-term Islam
yang telah dianut oleh masyarakat Sukabumi, mau tidak mau, dengan penggunaan
term Islam seperti kata Jihad banyak masyarakat yang merasa simpati terhadap
perjuangan para gorombolan. Medan
Sukabumi sebelah Utara dan Selatan merupakan daerah perbukitan dapat dikatakan
sebagai tempat strategis bagi gorombolan untuk melakukan gerilya-gerilya di dalam
melancarkan aksi terornya kepada masyarakat.
Pada awalnya,
pemerintah Indonesia mulai dari pusat hingga daerah lebih memiliki menggunakan
pendekatan persuasif yang dilakukan oleh
M. Natsir terhadap gerakan DI/TII ini. Namun selama beberapa tahun tidak mengalami perkembangan ke arah yang lebih
baik, maka untuk Jawa Barat, pemerintah Indonesia menempuh operasi militer Bharatayudha. [14]
S.M Kartosoewirjo bersama para tentaranya dapat ditaklukkan dan ditangkap pada
tanggal 4 Juni 1962. Keberhasilan pemerintah Indonesia ini diikuti oleh
keberhasilan penyelesaian pemberontakan DI/TII di Sukabumi.
Selain pemberontakan oleh gorombolan DI/TII Kartosoewirjo, di masa revolusi kemerdekaan, sebelumnya
didahului oleh peristiwa agresi militer Belanda terjadi pergantian sistem
pemerintahan. Akan berdirinya Negara Pasundan terlihat saat Belanda menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Kekecewaan rakyat di Sukabumi diwujudkan dalam pertemuan yang digagas oleh
Tentara Nasional Indonesia dan para pejuang Sukabumi menghasilkan keputusan
Sukabumi tidak akan bergabung dengan Negara Pasundan, Sukabumi menggabungkan
diri dengan Republik Indonesia. [15]
Kontribusi yang
diberikan oleh H. Oting kepada daerahnya merupakan bukti kecintaan dirinya
kepada tanah air, nusa, dan bangsa.
[1] Lihat Disertasi
Sulasman, “ Sukabumi Masa
Revolusi 1945 – 1946”, (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, 2007).
[2]
Darul Islam berasal dari dua kata, daar berarti
rumah dan al-Islam berarti Islam,
namun lebih tepatnya jika melihat secara etimologis penulisan itu seharunya daarul-muslimin fil indunisiy, yang
berarti rumah orang-orang Islam di Indonesia agar tidak terjadi penyempitan
makna (Penulis).
[3] Dua
klausul Proklamasi Negara Islam Indonesia merupakan maklumat perang atau harb
yaitu; Sejak bulan September 1945, pada ketika ke/di Indonesia, khusus ke/di
Pulau Jawa, atau sebulan kemudian
daripada Proklamasi berdirinya “Negara Republik Indonesia”, maka Revolusi
Nasional yang mulai menyala pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan “Perang”,
sehingga sejak masa itu seluruh Indonesia di dalam keadaan perang. Negara Islam
Indonesia tumbuh di masa perang, di
tengah Revolusi Nasional yang pada akhir kemudiannya, setelah Naskah Renville
dan Umat Islam Bangsa Indonesia bangun serta berbangkit melawan keganasan
penjajah dan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda, beralih sifat dan wujudnya
menjadi Revolusi Suci atau Perang Suci. Lihat catatan kaki nomor 36,
Muallimbunsu Syam Muhammad, Motivasi
Perang Sabil di Nusantara, (Ciputat: Media Madania, 2013), hal. 127.
[4] RIK
merupakan akronim dari Republik Indonesia Komunis, sebutan bagi Negara Republik
Indonesia oleh orang-orang NII.
[7]
Wilayah yang telah dikuasai oleh NII yaitu Kampung Cisampang, Desa Cidugsleun,
Kabupaten Tasikmalaya. Mereka memberikan sebutan kepada daerah ini sebagai
Madinah-Indonesia.
[8]
Barang siapa membantu, mengikuti, memihak, dan membenarkan RIK dan TRIK dengan
tjara , bentuk, dan sifat jang manapun djuga (lisan, tulisan, ‘amal perbuatan
dan lain-lain sebagainja), maka mereka itu dianggap musuh Negara Islam
Indonesia, musuh Islam dan Musuh Allah. Karenanja, mereka diperbuat dan
diperlakukan sebagai musuh N.I.I, musuh Islam dan Musuh Allah, sesuai dengan hukum
Islam di masa perang, dan boleh didjatuhi hukuman berat atas mereka, atas
pertanggungan-djawab komandan atau/dan panglima jang bersangkutan. Maklumat
Perang NII huruf B, lihat Muallimbunsu, Motivasi
Perang Sabil… , hal. 137.
[10]
Londo Ireng berarti Belanda berkulit
hitam.
[11]
Lobang berbentuk sumur dengan kedalaman 2 - 4 meter.
[12]
Salah satu strategi NII dalam mengebiri para ulama dan kyai yang tidak memiliki
pandangan sama yaitu dengan mengamputasi gerakan para ulama dan kyai moderat,
mereka yang terkumpul dalam Majlis Perjuangan Oemat Islam (MPOI) dan Dewan
Pertahanan Oemat Islam (DPOI) mengeluarkan kebijakan antara lain: Mengakui
Majlis Islam (MI) sebagai satu-satunya wadah dasar perjuangan Umat Islam Bangsa
Indonesia, membekukan Masyumi Jawa Barat dan semua cabang-cabangnya, dan
menetapkan sistem imam sebagai kepemimpinan dalam Islam. Lihat Muhammad Rasuli
Jami, Manhaj Bernegara dalam Haji, Kajian
Sirah Nabawi di Indonesia, (Jakarta: Media Madania,cet.1, 2011), hal. 216.
[14]
Istilah Bharatayudha ditemukan dalam Kisah Mahabharata sebagai bagian dari
kisah perang tanding antara pihak Pandawa dan Kurawa. Perang ini merupakan
perang yang pada awalnya didasari oleh kecemburuan secara genetika, tetapi
lambat laun berubah menjadi perang yang didasari oleh persaingan politis antara
Amarta dan Astina. (Penulis).