H. Oting dan Dunia Usaha
SALAH satu karakter
dan sifat yang mengendap dalam diri H. Oting karena dilahirkan sebagai seorang
pejuang adalah keteguhannya dalam menghadapi kehidupan. Sebagai seorang veteran
perang, tidak jauh berbeda dengan para tentara dan veteran di Sukabumi,
kekuatan mental, keteguhan, siap berjuang dan berusaha keras tetap terjaga
dalam dirinya kemudian diaplikasikan dalam kehidupan.
Setelah
memasuki alam kemerdekaan, secara makro dan mikro, kondisi negara dari pusat ke
daerah masih belum memperlihatkan kestabilan di berbagai bidang baik ekonomi, sosial,
politik, dan keamanan. Dalam hal politik, tarik-menarik kepentingan bukan hanya
terjadi antara pihak Indonesia dan pihak luar saja, sampai tahun 1948, Belanda
belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia dan kedaulatannya secara penuh.
Pertemuan-pertemuan dan konfrensi-konfrensi terus dilakukan oleh para
perwakilan negara baru merdeka ini dengan pihak luar. Hal ini tentu saja memengaruhi perkembangan
politik di daerah-daerah.
Belum
diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga telah membawa pengaruh tidak
baik bagi perkembangan politik internal di dalam tubuh badan-badan perjuangan,
politik aliran, dan lembaga-lembaga politik lainnya. Telah terjadi
tarik-menarik kepentingan, tidak hanya dalam tataran ideologi, juga dalam
kepentingan politik bagaimana cara menguasai negara ini. Tidak heran, sejarah
bangsa ini mencatat telah terjadi berbagai pemberontakan selama dua dekade
dengan berbagai macam motif, mulai dari kudeta kekuasaan, upaya mengokohkan
kendaraan politik, hingga upaya mengubah haluan, pedoman, dan ideologi bangsa
yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini, sebelum kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan.
Pekembangan
–lebih tepat dikatakan pergolakan – tiga ideologi besar yang terjadi di pusat;
Islam, Nasionalis, dan Komunis,
memengaruhi secara signifikan terhadap suhu politik di Sukabumi. Di depan telah disebutkan, tiga
pemikiran tersebut telah berkembang di Sukabumi dan telah menciptakan
basis-basis kekuatannya di Sukabumi. Kelompok Islam, Nasionalis, dan Komunis
terus mengukuhkan dan menancapkan kekuatan-kekuatannya hingga ke kelompok akar rumput (grass root).
Sejak
awal abad ke-20, tiga kekuatan di atas
telah sepenuhnya menaruh perhatian yang besar terhadap penindasan yang
dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat pribumi. Hal itu telah mendasari
masing-masing golongan untuk terus melakukan perlawanan baik secara forntal
maupun kooperatif kepada Belanda, baik secara politis, ekonomis, dan kultural.
Meskipun H. Oting merupakan seorang pribumi yang mengkonsentrasikan
perjuangannya melalui sikap frontal di dua zaman (Belanda dan Jepang), namun ia
juga berpikir bahwa perjuangan pribumi dalam melawan penjajah tidak selalu harus dengan cara
mengangkat senjata. Aspek ekonomi merupakan bentuk penjajahan lain bagi pribumi.
Penguasaan
ekonomi secara sepihak dan cenderung monopolisenstris oleh Belanda menjadi
penyebab rapuh dan keroposnya sendi-sendi perekonomian di Sukabumi. Peristiwa dua abad lalu, saat VOC,
sebagai kongsi perdagangan milik Belanda menerapkan sistem perekonomian
monopoli telah melahirkan bencana kemanusiaan bagi pribumi, kelaparan hingga kematian dalam
jumlah besar kembali terjadi di awal abad ke-20.
Taraf
hidup pribumi berada di bawah garis kemiskinan sementara itu, pemerintah
Belanda bersama warga kelas I dan II
sering mempertunjukan sikap tanpa empati
dengan mengadakan pesta pora dan hiburan-hiburan di atas kesengsaraan pribumi.
Bagi H. Oting kesengsaraan ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya
perekonomian pribumi.
Bersama
istri tercintanya, pada zaman pendudukan Jepang di Sukabumi, H. Oting memulai
usaha dengan berjualan samping karet. Usaha ini dijalankan olehnya karena Hj. Sofiah sendiri merupakan seorang perempuan
yang memiliki jiwa pengusaha atau entrepreneurship, sikap ini telah dimilikinya
sebelum menikah dengan H. Oting.
Pada
zaman pendudukan Jepang, penggunaan sarung karet (samping karet) oleh pribumi dilakukan salah satunya untuk
menghindari dari wabah kutu atau tuma yang
dapat menyebabkan penyakit gatal-gatal, koreng, hingga dapat membawa kematian
bagi penderita.
Wabah
kutu atau tuma menjadi ancaman serius
bagi pribumi pada tahun 1942-1945. Kondisi ini diperparah oleh buruknya
sanitasi lingkungan, asupan makanan bergizi yang sangat kurang, dan semakin
menggilanya para tentara Jepang melakukan berbagai aksi kekerasan di luar batas kemanusiaan. Beberapa tahun lalu
telah ditemukan, Jepang yang menjelma menjadi negara fasis itu sama ganasnya dengan NAZI di
bawah pimpinan Adolf Hitler.
Hitler
telah menciptakan mesin pembunuh bernama kamp konsentrasi di Auschwitz, selama Perang Dunia kedua,
Jepang juga melakukan hal yang sama dengan memokuskan pada pembuatan
senjata-senjata biologis untuk menyerang musuh-musuhnya. Berbagai senjata biologis dan virus
disebar ke negara-negara yang dianggap menjadi lawannya. Wabah kutu atau tuma yang pernah menjadi sampar mengerikan di Sukabumi dan negara
ini sengaja diciptakan oleh Jepang untuk melemahkan wilayah yang didudukinya.
Sikap
empati H. Oting diperlihatkan dengan cara menjual sarung karet kepada warga
Sukabumi, bahkan sering sekali ia bersama istrinya memberikan harga di bawah
nilai jual kepada warga demi alasan kemanusiaan. Di zaman pendudukan Jepang,
jarang sekali pengusaha dan pedagang yang berani melakukan spekulasi usaha di
bidang pemasaran dan penjualan sarung karet, apalagi menjual sarung karet
tersebut dengan harga di bawah nilai jual pasar. H. Oting bersama istrinya
memahami, jika penjualan sarung karet ini tidak dilakukan, maka akan banyak
pribumi yang terkena wabah penyakit borok dan gatal-gatal yang akan berdampak
pada timbulnya penyakit baru di masyarakat.
Selain
menjual samping karet, usaha dagang di bidang sandang yang dilakukan oleh H. Oting bersama Hj. Sofiah yaitu menjual kain batik. [1] Ia
mendatangkan kain batik yang dipasok dan dibeli dari daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Latar belakang menggeluti usaha penjualan kain batik ini sebagai
salah satu upaya untuk memperkenalkan pakaian khas pribumi kepada pribumi
sendiri.
Bagi
warga Sukabumi, penggunaan pakaian terutama baju batik merupakan sebuah
kebanggaan tersendiri. Baju dengan motif dan corak batik biasa digunakan pada
acara-acara tertentu seperti saat menghadiri pesta pernikahan, acara besar yang
digelas secara remi oleh pemerintah dalam bentuk pertemuan, dan di hari raya
lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha).
Ada
hal yang sengaja dilakukan oleh H. Oting bersama istrinya menjalakan usaha di
bidang sandang ini. Dalam tradisi Sunda yang telah berkembang cukup lama di
Tatar Pasundan, papaés atau pakaian
merupakan hal yang benar-benar diperhatikan oleh masyarakat. Perhatian tersebut
tidak hanya ditujukan untuk menentukan status sosial seseorang, juga merupakan
hal yang sering dinasehatkan oleh setiap orangtua di dalam masyarakat Sunda
kepada anak cucu-nya: tagog kudu hadé,
artinya penampilan harus baik dan rapi.
Di daerah lain juga sudah tentu memiliki pandangan yang sama terhadap
pentingnya memoles diri dengan pakaian rapi dan pastas digunakan dalam
kehidupan.
Sudah
tentu, menggeluti usaha di bidang perdagangan pada masa itu bukan merupakan hal
mudah dan dapat dilakukan dengan tanpa hambatan. Tingkat kemiskinan masyarakat
berbanding lurus dengan perekonomian yang semakin melemah. Di zaman pendudukan
Jepang resesi ekonomi terjadi sebagai
akibat dari inflasi nilai mata uang di era pemerintahan Hindia Belanda. Melemahnya
nilai tukang mata uang Belanda menjadi salah satu penyebab melemahnya daya beli
masyarakat.
Salah
satu strategi yang dilakukan oleh H. Oting dalam kondisi resesi keuangan seperti
ini adalah dengan menentukan harga jual yang tetap, sebab baginya, menjalankan
usaha di bidang perdagangan ini tidak selalu memiliki motif mengejar keuntungan
semata, hal paling utama dalam berusaha adalah dapat membantu masyarakat Sukabumi dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Tidak mengherankan, saat pertama kali H. Andri Setiawan Hamami sebagai
cucu-nya membangun SPBU di Jl RH. Didi Sukardi (SPBU Ottista), H. Oting
memberikan nasehat agar keuntungan dari usaha pompa bensin itu digunakan untuk
membantu pembangunan Mesjid Ibadurrahman di Babakan Caringin. [2]
Sikap
sosial yang telah diperlihatkan oleh H. Oting selama menjalankan usaha di bidang perdagangan ini telah menjadi
penyebab semakin berkembangnya setiap usaha yang digelutinya. Ia menyadari,
membantu masyarakat dalam menyediakan kebutuhan hidup bukan sekadar dalam
persoalan sandang saja, satu tahun setelah memulai usaha perdagangan sarung
karet dan kain batik, ia membangun pabrik tahu.
Keberadaan
pabrik tahu pada masa itu sebagian besar hanya dimiliki oleh para pengusaha
Tionghoa dan itu pun masih sangat tergolong langka. Dengan berdirinya pabrik
tahu ini, masyarakat Sukabumi meskipun dengan skala tidak terlalu besar, paling
tidak dapat menikmati makanan yang cukup tinggi dengan kadar proteinnya. Bagi H. Oting sendiri, Sukabumi bukan hanya
merupakan pasar yang tepat dan besar dalam usaha memproduksi tahu, juga
merupakan salah satu ikhtiar membantu petani pribumi yang dipaksa oleh Jepang
untuk menanam kacang kedelai atau kacang jepun [3]
sebagai bahan baku pembuatan tahu.
Dengan
melihat jenis usaha yang digeluti oleh H. Oting di Sukabumi pada masa
pendudukan Jepang ini dapat disimpulkan bahwa ia sangat memahami usaha yang
harus dikembangkan sekaligus dapat membantu masyarakat sebagai konsumen dan
para petani kacang kedelai. Sistem romusha
atau kerja paksa di zaman pendudukan Jepang tidak hanya memperkerjakan pribumi tanpa upah dan makan yang baik, juga
telah memeras setiap lapisan masyarakat hingga kepada para petani.
Jepang
membagikan bibit-bibit kacang kedelai kepada para petani dan di saat musim
panen kedelai-kedelai itu dibeli dengan sangat murah atau dirampas sama sekali
dari para petani. Kekejaman pemerintah militer Jepang yang menerapkan ideologi fasis di
wilayah yang didudukinya terlihat lebih hebat jika dibandingkan dengan pemerintah Hindia Belanda. [4]
Perkembangan
usaha pedagangan yang digeluti oleh H. Oting semakin pesat. Pada tahun 1944,
ia bersama Hj. Sofiah menjalankan usaha
perdagangan ikan asin. Ikan asin tersebut didatangkan langsung dari Cirebon.
Kemajuan usaha di bidang perdagangan yang tergolong pesat dalam waktu lima
tahun ini telah menjadikan sosok H. Oting dikenal luas oleh masyarakat Sukabumi terutama oleh para pengusaha etnis
Tionghoa.
Indonesia
merupakan negara besar dan memiliki kandungan minyak bumi yang melimpah. sejak
ditemukan minyak bumi oleh Corps of the
Mining Engineers, institusi milik Belanda, pada dekade 1850-an di berbagai
daerah, industri pengolahan minyak bumi semakin berkembang, terutama
industri-industri minyak bumi yang dikelola oleh swasta. Tahun 1933, Standard Oil of New Jersey (SONJ) menyatukan sahamnya
dengan NKPM menjadi NV Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah
namanya menjadi NV Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan pengilangan SONJ
dengan jaringan pemasaran yang luas milik Socony
Vacuum. [5]
PT.
Stanvac Indonesia merupakan salah satu pemasok minyak bumi ke berbagai wilayah di Hindia Belanda,
termasuk Sukabumi. Peluang usaha perdagangan minyak tanah atau minyak bumi ini
dimanfaatkan oleh H. Oting dengan membuka pompa minyak tanah dan pompa bensin yang
dapat mencukupi kebutuhan minyak tanah serta bensin untuk warga pribumi pada
tahun 1961. H. Oting merupakan salah seorang pengusaha pribumi di Sukabumi
yang pertama kali membuka perusahaan minyak bumi atau minyak tanah di Sukabumi.
Di kemudian hari, perusahaan ini terus berkembang dan dilanjutkan oleh anaknya
sendiri H. Hamami Drajat melalui perusahaan Kujang Mas yang memiliki arti suci
atau ikhlas. [6]
Sejak
terjun ke dunia usaha, terutama setelah membuka perusahaan minyak tanah dan pompa bensin, H. Oting
semakin dikenal luas oleh berbagai kalangan terutama oleh para pengusaha. Tanpa
kecuali, kemajuan perusahaan minyak bumi atau minyak tanah pun semakin mengharumkan
nama keluarga H. Oting di mata masyarakat. Ia telah dilahirkan untuk menjadi
serang pejuang, tentara, sekaligus sebagai seorang pengusaha sukses.
[1] Wawancara dengan
H. Andri Setiawan Hamami (cucu H. Oting) pada tanggal 26 September 2017.
[2] Wawancara dengan
H. Andri Setiawan Hamami (cucu H. Oting) pada tanggal 26 September 2017.
[3] Jepun merupakan
salah sebutan bagi Jepang selain Nippon.
[4] Perang memang
kejam, baik di timur maupun barat. Semua telah memangsa korban anak manusia
yang berdosa atau tidak berdosa, baik laki-laki atau perempuan. Di zaman
pendudukan Jepang, tidak sedikit
perempuan Sukabumi yang masih muda diiming-imingi oleh pemberian beasiswa dan
akan disekolahkan ke luar negeri oleh Jepang, faktanya para perempuan itu hanya
dijadikan alat pemuas kebutuhan biologis para tentara Jepang , mereka digiring
ke barak-barak militer, diperlakukan tidak senonoh dan dijadikan budak seksual.
Lihat Ruyatna Jaya, Sejarah Sukabumi, hal.
51.
[5] https://pep.pertamina.com/Berita/Warta-PEP/2014/10/09/Pendopo-Dari-Lumbung-Minyak-Menjadi-Lumbung-Gas-Terbesar-di-Indonesia diunduh tanggal
28 September 2017, pukul 14.30 WIB.
[6]
Saat ini Kujang Mas telah menjadi
perusahaan besar berbadan hokum Perseroan Terbatas (PT). Sejak dikelola oleh H.
Andri Setiawan Hamami nama perusahaan yang dirintis oleh kakeknya itu tetap
dipertahankan dengan nama PT. Kujang Mas Utama (KMU) dan PT. Kujang Mas Permas.
Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang pemasaran dan distribusi seperti LPG
atau Gas, Produk Unilever, dan Produk Mayora. Wawancara dengan H. Andri
Setiawan Hamami, pada tanggal 24 September 2017.