Kisah-kisah Keluarga Hamami (Bagian 4)

Di dalam bagian ini akan diuraikan sepak terjang H. Oting, Kakek dari H. Andri Setiawan Hamami dalam menggeluti dunia usaha. -Kang Warsa-

H. Oting dan Dunia Usaha

SALAH  satu  karakter dan sifat yang mengendap dalam diri H. Oting karena dilahirkan sebagai seorang pejuang adalah keteguhannya dalam menghadapi kehidupan. Sebagai seorang veteran perang, tidak jauh berbeda dengan para tentara dan veteran di Sukabumi, kekuatan mental, keteguhan, siap berjuang dan berusaha keras tetap terjaga dalam dirinya kemudian diaplikasikan dalam kehidupan.
Setelah memasuki alam kemerdekaan, secara makro dan mikro, kondisi negara dari pusat ke daerah masih belum memperlihatkan kestabilan di berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Dalam hal politik, tarik-menarik kepentingan bukan hanya terjadi antara pihak Indonesia dan pihak luar saja, sampai tahun 1948, Belanda belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia dan kedaulatannya secara penuh. Pertemuan-pertemuan dan konfrensi-konfrensi terus dilakukan oleh para perwakilan negara baru merdeka ini dengan pihak luar.  Hal ini tentu saja memengaruhi perkembangan politik di daerah-daerah.
Belum diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga telah membawa pengaruh tidak baik bagi perkembangan politik internal di dalam tubuh badan-badan perjuangan, politik aliran, dan lembaga-lembaga politik lainnya. Telah terjadi tarik-menarik kepentingan, tidak hanya dalam tataran ideologi, juga dalam kepentingan politik bagaimana cara menguasai negara ini. Tidak heran, sejarah bangsa ini mencatat  telah  terjadi berbagai pemberontakan selama dua dekade dengan berbagai macam motif, mulai dari kudeta kekuasaan, upaya mengokohkan kendaraan politik, hingga upaya mengubah haluan, pedoman, dan ideologi bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini, sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Pekembangan –lebih tepat dikatakan pergolakan – tiga ideologi besar yang terjadi di pusat; Islam, Nasionalis,  dan Komunis, memengaruhi secara signifikan terhadap suhu politik di  Sukabumi. Di depan telah disebutkan, tiga pemikiran tersebut telah berkembang di Sukabumi dan telah menciptakan basis-basis kekuatannya di Sukabumi. Kelompok Islam, Nasionalis, dan Komunis terus mengukuhkan dan menancapkan kekuatan-kekuatannya  hingga ke kelompok akar rumput (grass root).
Sejak awal abad ke-20, tiga  kekuatan di atas telah sepenuhnya menaruh perhatian yang besar terhadap penindasan yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat pribumi. Hal itu telah mendasari masing-masing golongan untuk terus melakukan perlawanan baik secara forntal maupun kooperatif kepada Belanda, baik secara politis, ekonomis, dan kultural. Meskipun H. Oting merupakan seorang pribumi yang mengkonsentrasikan perjuangannya melalui sikap frontal di dua zaman (Belanda dan Jepang), namun ia juga berpikir bahwa perjuangan pribumi  dalam melawan  penjajah tidak selalu harus dengan cara mengangkat senjata. Aspek ekonomi  merupakan bentuk penjajahan lain bagi pribumi.
Penguasaan ekonomi secara sepihak dan cenderung monopolisenstris oleh Belanda menjadi penyebab rapuh dan keroposnya sendi-sendi perekonomian  di  Sukabumi. Peristiwa dua abad lalu, saat VOC, sebagai kongsi perdagangan milik Belanda menerapkan sistem perekonomian monopoli telah melahirkan bencana  kemanusiaan bagi  pribumi, kelaparan hingga kematian dalam jumlah besar kembali terjadi di awal abad ke-20.
Taraf hidup pribumi berada di bawah garis kemiskinan sementara itu, pemerintah Belanda  bersama warga kelas I dan II sering mempertunjukan sikap  tanpa empati dengan mengadakan pesta pora dan hiburan-hiburan di atas kesengsaraan pribumi. Bagi H. Oting kesengsaraan ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya perekonomian pribumi.
Bersama istri tercintanya, pada zaman pendudukan Jepang di Sukabumi, H. Oting memulai usaha dengan berjualan samping karet. Usaha ini dijalankan  olehnya  karena  Hj. Sofiah sendiri merupakan seorang perempuan yang memiliki jiwa pengusaha atau entrepreneurship, sikap ini telah dimilikinya sebelum menikah dengan H. Oting.
Pada zaman pendudukan Jepang, penggunaan sarung karet (samping karet) oleh  pribumi dilakukan salah satunya untuk menghindari dari wabah kutu atau tuma yang dapat menyebabkan penyakit gatal-gatal, koreng, hingga dapat membawa kematian bagi penderita.  
Wabah kutu atau tuma menjadi ancaman serius bagi pribumi pada tahun 1942-1945. Kondisi ini diperparah oleh buruknya sanitasi lingkungan, asupan makanan bergizi yang sangat kurang, dan semakin menggilanya para tentara Jepang melakukan berbagai aksi kekerasan  di luar batas kemanusiaan. Beberapa tahun lalu telah ditemukan, Jepang yang menjelma menjadi  negara fasis itu sama ganasnya dengan NAZI di bawah pimpinan Adolf Hitler.
Hitler telah menciptakan mesin pembunuh bernama  kamp konsentrasi  di Auschwitz, selama Perang Dunia kedua, Jepang juga melakukan hal yang sama dengan memokuskan pada pembuatan senjata-senjata biologis untuk menyerang musuh-musuhnya. Berbagai senjata  biologis  dan  virus disebar ke negara-negara yang dianggap menjadi  lawannya. Wabah kutu atau tuma yang pernah menjadi sampar mengerikan di Sukabumi dan negara ini sengaja diciptakan oleh Jepang untuk melemahkan wilayah yang didudukinya.
Sikap empati H. Oting diperlihatkan dengan cara menjual sarung karet kepada warga Sukabumi, bahkan sering sekali ia bersama istrinya memberikan harga di bawah nilai jual kepada warga demi alasan kemanusiaan. Di zaman pendudukan Jepang, jarang sekali pengusaha dan pedagang yang berani melakukan spekulasi usaha di bidang pemasaran dan penjualan sarung karet, apalagi menjual sarung karet tersebut dengan harga di bawah nilai jual pasar. H. Oting bersama istrinya memahami, jika penjualan sarung karet ini tidak dilakukan, maka akan banyak pribumi yang terkena wabah penyakit borok dan gatal-gatal yang akan berdampak pada timbulnya penyakit baru di masyarakat.
Selain menjual samping karet, usaha dagang di bidang sandang yang dilakukan oleh H. Oting bersama Hj. Sofiah yaitu menjual kain batik. [1] Ia mendatangkan kain batik yang dipasok dan dibeli dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Latar belakang menggeluti usaha penjualan kain batik ini sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan pakaian khas pribumi kepada pribumi sendiri.
Bagi warga Sukabumi, penggunaan pakaian terutama baju batik merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Baju dengan motif dan corak batik biasa digunakan pada acara-acara tertentu seperti saat menghadiri pesta pernikahan, acara besar yang digelas secara remi oleh pemerintah dalam bentuk pertemuan, dan di hari raya lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha).
Ada hal yang sengaja dilakukan oleh H. Oting bersama istrinya menjalakan usaha di bidang sandang ini. Dalam tradisi Sunda yang telah berkembang cukup lama di Tatar Pasundan, papaés atau pakaian merupakan hal yang benar-benar diperhatikan oleh masyarakat. Perhatian tersebut tidak hanya ditujukan untuk menentukan status sosial seseorang, juga merupakan hal yang sering dinasehatkan oleh setiap orangtua di dalam masyarakat Sunda kepada anak cucu-nya: tagog kudu hadé,  artinya penampilan harus baik dan rapi. Di daerah lain juga sudah tentu memiliki pandangan yang sama terhadap pentingnya memoles diri dengan pakaian rapi dan pastas digunakan dalam kehidupan.
Sudah tentu, menggeluti usaha di bidang perdagangan pada masa itu bukan merupakan hal mudah dan dapat dilakukan dengan tanpa hambatan. Tingkat kemiskinan masyarakat berbanding lurus dengan perekonomian yang semakin melemah. Di zaman pendudukan Jepang  resesi ekonomi terjadi sebagai akibat dari inflasi nilai mata uang di era pemerintahan Hindia Belanda. Melemahnya nilai tukang mata uang Belanda menjadi salah satu penyebab melemahnya daya beli masyarakat.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh H. Oting dalam kondisi resesi keuangan seperti ini adalah dengan menentukan harga jual yang tetap, sebab baginya, menjalankan usaha di bidang perdagangan ini tidak selalu memiliki motif mengejar keuntungan semata, hal paling utama dalam berusaha adalah dapat membantu masyarakat  Sukabumi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tidak mengherankan, saat pertama kali H. Andri Setiawan Hamami sebagai cucu-nya membangun SPBU di Jl RH. Didi Sukardi (SPBU Ottista), H. Oting memberikan nasehat agar keuntungan dari usaha pompa bensin itu digunakan untuk membantu pembangunan Mesjid Ibadurrahman di Babakan Caringin. [2]
Sikap sosial yang telah diperlihatkan oleh H. Oting selama  menjalankan  usaha di bidang perdagangan ini telah menjadi penyebab semakin berkembangnya setiap usaha yang digelutinya. Ia menyadari, membantu masyarakat dalam menyediakan kebutuhan hidup bukan sekadar dalam persoalan sandang saja, satu tahun setelah memulai usaha perdagangan sarung karet dan kain batik, ia membangun pabrik tahu.
Keberadaan pabrik tahu pada masa itu sebagian besar hanya dimiliki oleh para pengusaha Tionghoa dan itu pun masih sangat tergolong langka. Dengan berdirinya pabrik tahu ini, masyarakat Sukabumi meskipun dengan skala tidak terlalu besar, paling tidak dapat menikmati makanan yang cukup tinggi dengan kadar proteinnya. Bagi H. Oting sendiri, Sukabumi bukan  hanya merupakan pasar yang tepat dan besar dalam usaha memproduksi tahu, juga merupakan salah satu ikhtiar membantu petani pribumi yang dipaksa oleh Jepang untuk menanam kacang kedelai atau kacang jepun [3] sebagai bahan baku pembuatan tahu.
Dengan melihat jenis usaha yang digeluti oleh H. Oting di Sukabumi pada masa pendudukan Jepang ini dapat disimpulkan bahwa ia sangat memahami usaha yang harus dikembangkan sekaligus dapat membantu masyarakat sebagai konsumen dan para petani kacang kedelai. Sistem romusha atau kerja paksa di zaman pendudukan Jepang tidak hanya memperkerjakan  pribumi tanpa upah dan makan yang baik, juga telah memeras setiap lapisan masyarakat hingga kepada para petani.
Jepang membagikan bibit-bibit kacang kedelai kepada para petani dan di saat musim panen kedelai-kedelai itu dibeli dengan sangat murah atau dirampas sama sekali dari para petani. Kekejaman pemerintah militer  Jepang yang menerapkan ideologi fasis di wilayah yang didudukinya terlihat lebih hebat jika dibandingkan  dengan pemerintah Hindia Belanda. [4]
Perkembangan usaha pedagangan yang digeluti oleh H. Oting semakin pesat. Pada tahun 1944, ia bersama  Hj. Sofiah menjalankan usaha perdagangan ikan asin. Ikan asin tersebut didatangkan langsung dari Cirebon. Kemajuan usaha di bidang perdagangan yang tergolong pesat dalam waktu lima tahun ini telah menjadikan sosok H. Oting dikenal luas oleh masyarakat  Sukabumi terutama oleh para pengusaha etnis Tionghoa.
Indonesia  merupakan negara besar dan  memiliki kandungan minyak bumi yang melimpah. sejak ditemukan minyak bumi oleh Corps of the Mining Engineers, institusi milik Belanda, pada dekade 1850-an di berbagai daerah, industri pengolahan minyak bumi semakin berkembang, terutama industri-industri minyak bumi yang dikelola oleh swasta. Tahun 1933, Standard Oil of  New Jersey (SONJ) menyatukan sahamnya dengan  NKPM menjadi NV Standard Vacuum Petroleum  Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi NV Stanvac. Perusahaan ini adalah  hasil penyatuan produksi dan pengilangan SONJ dengan jaringan pemasaran yang luas milik Socony Vacuum. [5]
PT. Stanvac Indonesia merupakan salah satu pemasok minyak bumi  ke berbagai wilayah di Hindia Belanda, termasuk Sukabumi. Peluang usaha perdagangan minyak tanah atau minyak bumi ini dimanfaatkan oleh H. Oting dengan membuka pompa minyak tanah dan pompa bensin yang dapat mencukupi kebutuhan minyak tanah serta bensin untuk warga pribumi pada tahun 1961. H. Oting merupakan salah seorang pengusaha pribumi di Sukabumi yang pertama kali membuka perusahaan minyak bumi atau minyak tanah di Sukabumi. Di kemudian hari, perusahaan ini terus berkembang dan dilanjutkan oleh anaknya sendiri H. Hamami Drajat melalui perusahaan Kujang Mas yang memiliki arti suci atau ikhlas. [6]
Sejak terjun ke dunia usaha, terutama setelah membuka  perusahaan  minyak tanah dan pompa bensin, H. Oting semakin dikenal luas oleh berbagai kalangan terutama oleh para pengusaha. Tanpa kecuali, kemajuan perusahaan minyak bumi  atau minyak tanah pun semakin mengharumkan nama keluarga H. Oting di mata masyarakat. Ia telah dilahirkan untuk menjadi serang pejuang, tentara, sekaligus sebagai seorang pengusaha sukses.




[1] Wawancara dengan H. Andri Setiawan Hamami (cucu H. Oting) pada tanggal 26 September 2017.
[2] Wawancara dengan H. Andri Setiawan Hamami (cucu H. Oting) pada tanggal 26 September 2017.
[3] Jepun merupakan salah sebutan bagi Jepang selain Nippon.
[4] Perang memang kejam, baik di timur maupun barat. Semua telah memangsa korban anak manusia yang berdosa atau tidak berdosa, baik laki-laki atau perempuan. Di zaman pendudukan Jepang,  tidak sedikit perempuan Sukabumi yang masih muda diiming-imingi oleh pemberian beasiswa dan akan disekolahkan ke luar negeri oleh Jepang, faktanya para perempuan itu hanya dijadikan alat pemuas kebutuhan biologis para tentara Jepang , mereka digiring ke barak-barak militer, diperlakukan tidak senonoh dan dijadikan budak seksual. Lihat Ruyatna Jaya, Sejarah Sukabumi, hal. 51.
[6] Saat ini Kujang Mas  telah menjadi perusahaan besar berbadan hokum Perseroan Terbatas (PT). Sejak dikelola oleh H. Andri Setiawan Hamami nama perusahaan yang dirintis oleh kakeknya itu tetap dipertahankan dengan nama PT. Kujang Mas Utama (KMU) dan PT. Kujang Mas Permas. Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang pemasaran dan distribusi seperti LPG atau Gas, Produk Unilever, dan Produk Mayora. Wawancara dengan H. Andri Setiawan Hamami, pada tanggal 24 September 2017.

Informasi Lainnya

Berlangganan