Kisah-kisah Keluarga Hamami (Bagian 2)

KISAH-kisah Keluarga Hamami berasal dari beberapa wawancara dengan beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Keluarga Hamami dan berdasarkan studi kepustakaan (library research). Bagian-bagian dalam tulisan ini akan terus diupdate hingga terkumpul menjadi sebuah kisah utuh sebagai bentuk sejarah sampingan dalam bingkai His Story. -Kang Warsa (Penulis)-. 

Dari Garut  Hijrah ke Sukabumi

H. OTING dilahirkan pada tahun  1900.  Dari pernikahannya dengan Hj. Sofiah , ia dikaruniai anak salah satunya H. Hamami Drajat.  Ia hijrah ke Sukabumi pada tahun 1914.  Di usia muda,  H. Oting telah mengikuti jejak ayahnya terjun langsung menggeluti dunia usaha. Bahkan, Somawikarta, ayahnya sendiri meninggal di Malaka ketika sedang menjalankan usaha perdagangan. [1] Watak tegas,  tidak mengenal lelah, dan pantang menyerah telah diturunkan oleh ayahnya kepada H. Oting, baik secara genetika atau melalui internalisasi dan infiltrasi melalui nasehat dari ayahnya ketika ia masih kanak-kanak.
Pada permulaan abad ke 16, Malaka  merupakan pusat transit perdagangan dunia menjadi jalur masuknya para pedagang asing dan mancanegara ke wilayah nusantara. Pada abad ini, Portugis mulai masuk ke Nusantara  dan membawa  pengaruh terhadap  mundurnya kerajaan Malaka. Kendatipun demikian, pelabuhan Malaka tetap menjadi transit perdagangan internasional yang ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negara dan kerajaan.[2] Tentu saja, kondisi malaka seperti itu mengharuskan siapa pun yang ingin tetap bertahan di wilayah pesisir tersebut harus memiliki kekuatan baik fisik maupun pikiran. Iklim pesisir pantai dan wilayah perairan disempurnakan oleh persaingan usaha kecuali keras juga memiliki tingkat gesekan yang cukup kuat.
Akhir abad ke 19 merupakan masa suram di Hindia Belanda sebagai akibat  dari krisis keuangan yang dialami oleh pemerintah Hindia Belanda. Tidak sedikit para penulis berkebangsaan Belanda menggambarkan Hindia Belanda sebagai sebuah inkarnasi kemelaratan. Beban berat itu justru harus dipikul oleh penduduk pribumi. Istilah malaise (sepi dagang) terdengar di seantero Hindia Belanda, beberapa surat kabar memberitakan kerawanan pangan sedang menerjang Hindia  Belanda. Berbagai daerah disergap oleh musibah kelaparan, kemelaratan dan kesengsaraan yang dialami oleh penduduk pribumi. [3]
Salah seorang pengacara bernama Van Deventeer menulis sebuah artikel dengan judul Een Eereschuld (Utang Budi) sebagai bentuk empati dirinya terhadap kondisi rakyat pribumi  pada awal abad ke-20. Pemerintah Belanda diharuskan membantu Hindia Belanda yang telah jatuh miskin. Di awal tahun 1900, untuk menyelesaikan persoalan krisis keuangan itu, Belanda mengeluarkan kebijakan baru di bidang perekonomian. Perluasan lahan pertanian hingga intensifikasi pertanian di Sukabumi. Perdagangan dilakukan secara lebih terbuka meskipun pada pelaksanaannya, Belanda masih cenderung memonopoli perdagangan ini.
Masa depresi hingga tahun 1920 ini merupakan tekanan kepada pemerintah Belanda dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengeluarkan Hindia Belanda dari tekanan berat ini. Perluasan lahan pertanian oleh Belanda diikuti oleh kebijakan dalam hal perdagangan, perdagangan beras antar pulau [4] agar distribusi beras sebagai makanan pokok rakyat pribumi dapat merata. Sampai tahun 1933, Hindia Belanda lambat laun dapat keluar dari depresi dan krisis ekonomi, pulih secara berangsur-angsur.
Sebagai seorang pengusaha muda, dalam diri H. Oting telah tertanam semangat  juang dalam berwirausaha. Sikap tangguh yang telah diwariskan oleh ayahnya sendiri  telah menjadikan H. Oting tampil sebagai seseorang yang tidak pernah berpangku tangan, apalagi ia hidup di masa ketika negara ini masih ada dalam kungkungan pemerintah Hindia Belanda yang kerap mewaspadai dua unsur yang ada di masyarakat yaitu kyai dan pengusaha pribumi.
Pemerintah Hindia  Belanda memberikan perhatian lebih kepada dua unsur masyarakat ini, pengusaha pribumi  diwaspadai karena Belanda menyadari, berbagai pergerakan  nasional selalu mendapat dukungan penuh dari kelompok pengusaha dan pedagang. Misalnya, pendirian SDI (Sarekat Dagang Islam) pada tahun 1905  oleh H. Samanhudi merupakan konsensus para pengrajin batik di Jawa Tengah untuk menghadapi persaingan dagang dengan pedagang Tionghoa dan kelompok non-muslim. [5]
Dengan berbekal pengalaman berdagang dan didikan dari ayahnya selama menjalankan usaha di Malaka dan tempat-tempat lain. H. Oting berusaha melanjutkan karakter-karakter pribadi yang mengendap dalam prilaku dan sifat  ayahnya itu, Somawikarta. Proses internalisasi sikap berwirausaha telah diterima sendiri oleh H. Oting dari ayahnya, bagaimana hidup dan kehidupan ini harus dijalani bahkan harus bisa dijalankan agar peran dan kedudukan manusia benar-benar menempatkan diri pada fungsinya sebagai manusia itu sendiri.
Selama mengikuti nasehat-nasehat dari ayahnya saat  menjalankan usaha dalam bentuk perdagangan, lingkungan sosial di Malaka membentuk karakter yang sama terhadap diri H. Oting karena ia sendiri sebagai subyek dan pelaku utama dari proses sosialisasi sikap dan mental ayah serta masyarakat yang aktif dalam kegiatan usaha. [6]
Saat pertama kali datang di Sukabumi tepatnya di Purabaya  pada tahun 1914, bukan merupakan hal mudah bagi H. Oting melakukan penyesuaian dengan lingkungan tempat tinggal yang tergolong masih baru. Kondisi Sukabumi tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara, masih berada di bawah jajahan pemerintah kolonial Belanda. Perdagangan dan komersialisasi dimonopoli secara penuh oleh Belanda, baik teknis maupun regulasi-regulasi yang menyertainya, seperti penentuan harga jual dan beli barang yang diperdagangkan oleh pribumi. Pasar benar-benar dikendalikan secara sepihak oleh Belanda, hal ini telah mengakibatkan kerugian besar dialami oleh para pengusaha pribumi dan menguntungkan Belanda serta para pengusaha kelas I dan kelas II.
Warga  pribumi sama sekali mengalami kesulitan mengakses kebijakan-kebijakan perdagangan yang dimonopoli oleh Belanda. Lahan-lahan perkebunan di Sukabumi dikuasai sepenuhnya oleh pemilik onderneming [7] para pengusaha Belanda. Pribumi hanya ditempatkan sebagai pekerja-pekerja kasar, dan bagi warga pribumi yang telah menerima pendidikan model Belanda [8] hanya ditempatkan sebagai mandor di onderneming-onderneming itu.
Teknis monopoli di bidang perekonomian ini salah satunya dengan menguasai sepenuhnya barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Secara teori, teknis seperti ini merupakan upaya untuk menghentikan rantai  distribusi dan menutup barang pengganti (close substitution) yang sangat mendesak dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hal itu berdampak terhadap terciptanya monopoli pasar dengan beberapa ciri utama antara lain; harga-harga tidak lagi ditentukan oleh pasar melainkan ditentukan oleh pengaruh kebijakan pemerintah kolonial Belanda.  [9] Industri dalam skala besar pun dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Beban lain yang dirasakan sangat memberatkan rakyat di awal abad ke-20 yaitu diberlakukannya berbagai macam pajak dan pungutan lainnya yang benar-benar menguras kantong-kantong perekonomian rakyat terutama warga  pribumi. Pungutan  pajak kepada pribumi ditentukan melalui pembayaran tunai, hal tersebut diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di seluruh Pulau Jawa termasuk Sukabumi. Pembayaran pajak secara tunai oleh pribumi kepada pemerintah ini sebetulnya merupakan pengganti dari beban rodi atau kerja paksa. Dampak buruk dari kebijakan itu dirasakan langsung oleh  pribumi sebagai kelompok akar rumput, hubungan yang berlaku di masyarakat perdesaan dan perkampungan telah bersifat bisnis tidak pribadi, tentu saja dengan segala kemungkinan yang melahirkan ketidakstabilan kerukunan di masyarakat itu sendiri. [10]
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Belanda satu tahun sebelum H. Oting hijrah di Sukabumi yaitu pembagian wilayah afdeling [11] Sukabumi menjadi beberapa distrik. [12] Kebijakan ini telah menguntungkan pihak Belanda, karena dengan pembagian divisi di Sukabumi - terutama berkaitan dengan onderneming yang dikuasai  oleh  pengusaha-pengusaha Belanda – akan memudahkan pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah. Sukabumi menjadi pusat perhatian Belanda dengan pertimbangan wilayah ini merupakan wilayah subur dan memiliki banyak lahan perkebunan memanjang dari Timur ke Barat dan membujur dari Utara ke Selatan. [13]
Para pengusaha pribumi seperti halnya H. Oting  yang baru saja tiba di Sukabumi sangat mengalami kesulitan dalam mengambil langkah untuk mengembangkan usaha yang dapat memihak kepada kepentingan rakyat.
Belanda sebagai bagian dari kolonialisme dunia memang terus menginginkan Nusantara dan Sukabumi sebagai bagian penting darinya menjadi sapi perahan mereka.  Prinsip yang dikembangkan oleh kaum kolonialis-imperalis terhadap daerah jajahannya adalah: daerah jajahan harus menghasilkan dan menjamin adanya keuntungan bagi negeri asal kaum penjajah yaitu Belanda. Daerah jajahan harus diperlakukan sebagai “ gabus tempat negeri Belanda mengapung.” [14]
H. Oting mengerti betul terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang sangat condong terhadap pengusaha kelas I dan kelas II yaitu Belanda dan Tionghoa. Berbekal pengalaman usaha ketika tinggal di Garut dan hasil pendidikan dari orangtuanya, antara tahun 1920-1945, ia membuka usaha perdagangan bersama istrinya, Hj. Sofiah.  Di Sukabumi, bersama para pedagang pribumi, H. Oting membuka pabrik tahu dan kios samping karet. Tidak jarang, setiap satu   tahun sekali, keluarga H. Oting menyisihkan keuntungan dari usaha perdagangan itu untuk membantu rakyat Sukabumi. [15]
Sebagai wujud kecintaan kepada tanah air dan empati terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia apalagi menimpa secara langsung rakyat yang ada dan hidup di sekelilingnya, H. Oting meskipun telah terjun ke dunia usaha, ia memutuskan untuk mengabdikan diri kepada tanah air dengan menjadi seorang tentara.
H. Oting merupakan salah seorang pribumi yang telah terbiasa melihat pengalaman pahit rakyat pribumi di bawah kekuasaan kolonial Belanda, dari Garut ke Sukabumi sepanjang jalan yang ia lihat adalah buruh-buruh kasar perkebunan. Pemerintah Hindia Belanda memang memberikan pelayanan konsumsi kepada para buruh kasar itu, tetapi pada saat yang bersamaan tidak mengehendaki ada pribumi yang dapat melebihi superioritas mereka.
Pada masa pendudukan Jepang, H. Oting ikut berperan serta dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air pada tahun 1943. Menjadi bagian dari Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA dilakukan oleh H. Oting bersama para sukarelawan lainnya karena Jepang telah mempropagandakan diri mereka sebagai kawan se-Asia dan negara yang telah mengalahkan sekutu dan negara-negara penjajah seperti Belanda.
Jepang  mengeluarkan kebijakan mendirikan pemerintahan militer, atas prakarsa dari para ulama dan tokoh Islam, tentara yang dibentuk oleh pemerintahan militer  Jepang itu bukan bersifat wajib militer, melainkan sukarela saja.
Hal itu menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan  paham kebangsaan dan cinta tanah air yang didasarkan  atas ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam). [16]
Setelah  Jepang  mengalami  kekalahan akibat dua kota negara itu diluluh-lantakkan oleh sekutu, sebagai prolog dari kemerdekaan Indonesia, paska Soekarno Hatta membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustus 1945. Para sukarelawan dan tentara-tentara dari badan perjuangan rakyat tidak sedikit  ikut serta dan menjadi anggota BKR, salah satunya yaitu H. Oting. Mereka berkumpul di Lapang Merdeka (sekarang) dan didaulat sebagai anggota BKR Darat.




[1] Wawancara dengan H. Andri Setiawan Hamami ( cucu H.. Oting) pada tanggal 22 September 2017.
[2] Ketika orang-orang Portugis mulai berdatangan pada permulaan abad ke-16, kerajaan Malaka mengalami kemunduran. Malaka menjadi pusat transit perdagangan yang banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru angin. Lihat. Marwati Djoenoed, dkk, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011, cetakan ke-lima), hal. 335.
[3] Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas…, hal. 190.
[4] Subandi, Sistem Ekonomi Indonesia, (Bandung: Alfabeta,cet. Kedelapan, 2014), hal.66.
[5] Sarekat Dagang Islam  yang didirikan pada tahun 1911 semula merupakan gerakan pemberdayaan ekonomi dan perdagangan umat Islam yang merasa terancam oleh kegiatan komersial non-muslim di Surakarta. Pada tahun 1912, terjadi transformasi radikal SDI menjadi SI di bawah pimpinan Oemar Said Tjokroaminoto yang karismatik. Yang berubah bukan hanya nama melainkan juga orientasi gerakan, dari ekonmi ke politik. Akibatnya pemberdayaan ekonomi umat menjadi terbengkalai, karena energi elit muslim sekarang terpusat untuk kepentingan politik berhadapan dengan sistem kolonial.  Lihat. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2015, cetakan ke-2), hal. 98.
[6] Dalam teori struktural disebutkan perilaku seseorang cenderung dipengaruhi oleh struktur sosial di mana orang hidup. Individu akan berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena mereka dibatasi oleh aturan-aturan kebudayaan yang sama. Lihat Pip Jones, Pengantar Teori-teori sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post Modernisme, Terjemahan Achmad Fedyani Saefudin, (Jakarta: YOI, 2011), hal. 9.
[7] Orderneming= Perkebunan di zaman kolonial yang diusahakan secara besar-besaran dengan alat canggih, Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). http://kbbi.web.id/onderneming.
[8] Dampak dari kebijakan cultuurstelsel  atau sistem pembudidayaan tanaman secara paksa oleh Van Den Bosch pada tahun 1830 melalui metode yang digunakannya telah menyebabkan penduduk Hindia Belanda hidup dalam setengah perbudakan. Mereka dipaksa menanam tanaman yang dipaksakan oleh pemerintah yang makin lama makin besar. Sementara itu, imbal jasa yang diperoleh  penduduk sangat kecil. Lihat  Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 54.
[9] Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Utama, 2005), hal. 267.
[10] Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas…, hal. 194.
[11] Afdeling = Bagian atau Divisi.
[12] Distrik Sukabumi, Cicurug, Cibadak, Jampangtengah, dan Jampangkulon. Lihat Staatblad Nomor 3576/1613 tanggal 7 Mei 1913.
[13] Pada tahun 1925, Sukabumi dipilih sebagai Ibu Kota Priangan Barat dengan alasan daerah tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam perekonomiannya. Lihat Sulasman, Sukabumi Masa Revolusi…, hal. 35.
[14] Sistem feodalis yang diciptakan oleh Belanda dengan memanfaatkan para aristocrat pribumi telah mematikan hasrat rakyat pribumi. Dalam laporan Dirk Van Hgendorp, pada awal abad ke 19, keadaan rakyat pribumi sangat terbelakang. Kehidupan rakyat semakin parah ini selain disebabkan oleh Sistem Tanam Paksa dan pajak yang besar juga disebabkan oleh penyewaan tanah-tanah, lahan garapan, sawah, dan kebun-kebun kepada para pendatang asing, terutama Tionghoa. Para penyewa tanah itu seolah memiliki kedudukan sebagai Buati, tanah desa disewa kemudian dianggap seperti barang milik pribadi yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Kelaparan terjadi di mana-mana, karena sawah-sawah sebagai produsen makanan pokok disewakan kepada orang asing. Lihat  Ruyatna Jaya, Sejarah Sukabumi, (Sukabumi: Yayasan Pendidikan Islam, 2002), hal. 45.
[15] Wawancara dengan H. Andri Setiawan Hamami (cucu H.MOting) tanggal 26 September 2017.
[16] Ahmad Mansur Suryanegara, Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, (Bandung: Mizan, 1996), hal….

Informasi Lainnya

Berlangganan