Kisah-kisah Keluarga Hamami (Bagian 1)

KISAH-kisah Keluarga Hamami berasal dari beberapa wawancara dengan beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Keluarga Hamami dan berdasarkan studi kepustakaan (library research). Bagian-bagian dalam tulisan ini akan terus diupdate hingga terkumpul menjadi sebuah kisah utuh sebagai bentuk sejarah sampingan dalam bingkai His Story. -Kang Warsa (Penulis)-.


Kemajemukan Sukabumi

DALAM memaparkan biografi sebuah keluarga atau seorang tokoh  tidak pernah lepas dari pengambilan, pengolahan, dan pendeskripsian data yang melibatkan tokoh yang ditulis serta orang-orang yang terhubung dengan tokoh tersebut, terutama keluarga inti. Keluarga sebagai basis ideal pembentukan individu dan masyarakat memiliki inti kohesi yang saling tarik dan mengikat dengan kuat, hubungan secara vertikal di dalam keluarga inti antara kakek-ayah-anak-cucu. Menulis biografi keluarga serta tokoh-tokoh dalam keluarga itu tidak hanya pelik dan sulit, karena data yang didapat melalui berbagai pendekatannya sering bersifat acak, bisa dikatakan berserakan seperti sebuah permainan puzzle.
Penulisan biografi Keluarga Hamami dilakukan oleh penulis melalui rangkaian proses panjang diawali dengan mendeskripsikan kondisi sosial yang berlangsung di daerah keluarga dan di lingkungan  tokoh tersebut tinggal atau hidup. Umapamanya memaparkan sepak terjang dan kontribusi H. Oting serta keluarganya [1] di Sukabumi , diawali dengan pendeskripsian berbagai data yang saling terhubung atau memiliki korelasi antara satu persitiwa dengan persitiwa lainnya dan adanya hubungan dengan obyek kajian (tokoh dan keluarga).
Menjadi satu alasan, bahwa orang dewasa yang normal mempunyai ingatan yang meliputi pengalaman selama beberapa tahun. Selama pengalaman itu ia telah membaca dan mendengar banyak dokumen sejarah, di antaranya surat kabar, surat-surat, dokumen resmi, dokumen hukum, pengumuman radio, pidato-pidato politik, statistik resmi, iklan, dan percakapan biasa. Artinya “Every Man His Own Historian”.[2]
Penulisan biografi Keluarga Hamami ini diawali terlebih dahulu dengan satu paparan panjang tentang kondisi daerah asal (Sukabumi) sebagai tempat obyek penelitian mengabdikan hidupnya bagi daerahnya itu. Secara makro, awal abad ke-20 ditandai oleh gejolak perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme yang mewabah di negara-negara Asia dan Afrika membawa pengaruh besar juga kepada Indonesia.
Perlawanan kepada kolonialisme tidak lagi dilakukan secara sporadis dan bersifat kedaerahan. Lahirnya organisasi dan kaum pergerakan telah menyadarkan pentingnya perlawanan secara sistematis dan terstruktur terhadap bangsa yang telah lama mengusai negara ini. Arus perlawanan ini bersifat sentralistik, kaum pergerakan di pusat memengaruhi pergerakan-pergerakan yang ada di daerah. Organisasi dan lembaga dibentuk di pusat namun dengan tidak mengabaikan bahwa basis atau embrio-embrio setiap organisasi berasal dari bawah.
Dalam tataran mikro, pengaruh gerakan arus atas perlawanan terhadap kolonialisme di  pusat begitu jelas terjadi juga di Sukabumi. Gerakan perlawanan terhadap penjajah ini merupakan kesadaran baru di daerah seperti Sukabumi yang dilatarbelakangi  oleh faktor sosial, kultural,  dan  politik.  Peristiwa makro di Indonesia pada awal pra-kemerdekaan benar-benar memiliki pengaruh terhadap kondisi mikro di daerah, khususnya di Sukabumi mengingat daerah ini sangat strategis sebagai daerah komunikasi antara wilayah Priangan dengan Batavia. Hal lainnya, daerah perkebunan merupakan sebutan yang mengikat erat  Sukabumi dengan pemerintah kolonial, daerah perkebunan ini menjadi andalan finansial atau perekonomian pemerintah kolonial dengan perusahaan-perusahaannya.
Begitu penting Sukabumi bagi pemerintah kolonial, tiga puluh satu tahun sebelum Indonesia merdeka, Sukabumi dijadikan Gementee oleh pemerintah Belanda pada tanggal 1 April 1914. Stadgementee disematkan kepada kota dengan jumlah penduduk baru mencapai  23.530 orang itu pada tanggal 1 Mei 1926, Mr. G. F. Rambonet sebagai Burgemeester pertama. Bahkan, Sukabumi dijadikan daerah buangan politik oleh pemerintah Belanda.
Dengan dibuangnya tokoh-tokoh politik nasional ke Sukabumi ini pada akhirnya memberi pengaruh terhadap pemikiran orang-orang yang “telah tercerahkan” di Sukabumi. Tokoh-tokoh nasional yang pernah dibuang ke Sukabumi karena ketakutan pemerintah Belanda antara lain; Cut Nyak Dien, saat itu Sukabumi masih menjadi wilayah bagian dari Cianjur. Tokoh lainnya seperti Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Sampai tahun 1980-an, sebutan ‘Kota Santri’ begitu melekat dengan Sukabumi. hal itu disebabkan secara kultural telah terbentuk kelompok sosial baru, tokoh agama yaitu kyai atau ajengan yang dihasilkan oleh pranata keagamaan seperti pesantren dan madrasah. Keberadaan beberapa pesantren di pusat kota hingga pelosok ini menjadi satu alasan daerah ini disebut kota santri. Dalam penelitiannya, Horikoshi menyebutkan, kelompok sosial seperti kyai dan ajengan ini jelas sekali memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan sosial di sebuah masyarakat.[3] Kyai atau ajengan tidak hanya memiliki pengaruh karena sebagai orang yang paling mengetahui dan mengerti keagamaan, lebih dari itu kelompok sosial baru ini memiliki kharisma dan dihormati oleh masyarakat, juga memegang peran penting dalam persoalan politik di Sukabumi.
Kyai atau ajengan yang memiliki pengaruh besar di Sukabumi ini antara lain; KH. Ahmad Sanoesi, [4] sebagai seorang kyai yang memegang simbol pergerakan Islam dalam menentang dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pesantren Cipoho memiliki KH. Muhammad Basoeni, seorang kyai atau ajengan yang sangat disegani di daerah itu. KH. Abdurakhim dari Cantayan, KH. Muhammad Anwar dari Salajambe, KH. Masthuro dari Tipar Cisaat, KH. Muhammad Sidik dari Sukamantri, KH. Badrudin dari Kadudampit, KH. Muhammad Hasan Basri dari Cicurug, KH. Sulaeman dari Sudajayahilir, dan sejumlah kyai atau ajengan yang memegang peran sentral pegerakan umat dalam melawan kebijakan pemerintah Belanda yang bersifat elitis.
Tanpa kita sadari, pada masa ini telah terbentuk jaringan intelektual pesantren yang terlihat dalam upaya dan sepak terjang para kyai atau ajengan melalui berbagai lembaga keagamaan. Menurut Mastuki, kyai dan ajengan ini sejak abad ke-18 M secara terus-menerus mengembangkan jaringannya ke seluruh pelosok nusantara. [5]
Pesantren merupakan lembaga atau pranata keagamaan yang memiliki peran penting dalam pergerakan melawan pemerintah Belanda, penelitian Horikoshi tentang kyai atau ajengan dilengkapi oleh Zamakhsyari Dhofier yang mendeskripsikan dengan lengkap bagaimana jaringan pesantren dan kyai ini telah membentuk bola salju kemudian secara perlahan menggelinding melawan pemerintah Belanda. Jauh sebelumnya, pada abad ke-19 M, pemerintah Belanda sebetulnya telah menjalankan strategi bagaimana cara mengendalikan bola salju liar ini agar tidak menggelinding ke sana ke mari, dalam arti bergerak meninggalkan stagnasi diri dan memiliki vitalitas mencairkan kebekuan yang sering dialamatkan kepada lembaga pesantren dan kyai atau ajengan tradisional. [6]
Pemerintah Belanda melalui kebijakan pencatatan orang-orang yang pergi menunaikan ibadah  haji berusaha mengendalikan pergerakan para kyai atau ajengan. Belanda mengetahui bahwa jaringan kyai atau ajengan ini tidak hanya terjadi dalam sakala lokal, secara global juga telah terbentuk jaringan kyai di dunia ini. Konsolidasi yang terjadi dan sering disuarakan dalam jejaring kyai global di era kolonialisme dan imperialisme adalah bagaimana cara memerdekakan daerah atau negaranya. Apalagi pemerintah Belanda atau kaum kolonial lainnya memiliki keyakinan berbeda dengan penduduk daerah jajahan. Pergerakan kyai atau ajengan  ini menjadi cikal bakal revolusi di Sukabumi.
Perkembangan politik di pusat di mana terjadi pengelompokkan ideologi dan pemikiran antara satu tokoh satu dengan tokoh lainnya lambat laun memengaruhi kelompok-kelompok pergerakan di Sukabumi. Secara umum, pergerakan melawan pemerintah Belanda hingga menurunkan pemerintah Jepang di Sukabumi dipengaruhi oleh ideologi dan pemikiran; Islam, Nasionalis, Sosialis, dan Komunis. Kyai atau ajengan jelas sekali dipengaruhi oleh pemikiran pembebasan dari ketertindasan yang sangat nyata dijelaskan baik di dalam dalil naqli (al-Quran) dan hadits nabi.
Berdirinya Sarekat Islam telah membawa arah baru terhadap penafsiran al-Quran dan Hadits, Islam tidak hanya berkembang secara kultural dan mengamalkan tradisi juga telah memasuki wilayah ideologi dan pemikiran. KH. Ahmad Sanoesi menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Sukabumi pada tahun 1919-1920.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional datang di Sukabumi menjelang kemerdekaan. Kedatangan para tokoh pergerakan di Sukabumi ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Sukabumi membina atau melakukan kaderisasi tentang arti penting kemerdekaan bagi Sukabumi sebagai bagian dari Indonesia. Sosialisasi bahkan infiltrasi semangat nasionalisme ini dilakukan oleh para tokoh nasional di acara-acara seperti diskusi kelompok, para santri diwajibkan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada pembukaan kegiatan imtihan atau samen[7].
Diskusi politik juga diikuti oleh tokoh-tokoh Sukabumi baik tua maupun muda. Mentor atau narasumber pemberi materi dalam diskusi politik itu antara lain; Arudji Kartawinata, Adam Malik, Muhammad Hatta, dan H. Abdul Karim. Konsentrasi kegiatan itu diselenggarakan di daerah-daerah vital seperti Cikole dan Lembursitu.[8]
Penafsiran Islam dan pengimplementasiannya dari kultural-tradisional kea rah pemikiran dan idelogi telah mengubah cara pandang pera tokoh Islam sendiri. Pemikiran dan idelogi meskipun dipengaruhi oleh ajaran Islam tetap saja merupakan produk budaya, hasil kreasi manusia yang tidak bisa lepas dari saling silang atau persilangan dengan pemikiran atau idelogi lain.
Adanya kemiripan antara dasar-dasar persamaan dalam sosialisme dan komunisme telah melahirkan dua kubu dalam Sarekat Islam, SI Putih yang dipertahankan oleh tokoh Islam, dan SI Merah yang digagas oleh tokoh Sosialis-Komunis yang beragama Islam. Akibat dari perpecahan Sarekat Islam ini, Komunisme mulai dikenal di Sukabumi. Pada tahun 1925, Sarekat Islam Cabang Sukabumi juga terpecah menjadi dua kelompok, Sarekat Islam dan Sarekat Rakyat.   
Selama dua puluh tahun terbentuknya Sarekat Rakyat, pemikiran komunisme berkembang di Sukabumi. Perkembangan pemikiran komunisme tidak terlepas dari aktivitas para buruh pertambangan asal Sukabumi yang bekerja di daerah Cikotok Bayah. Para buruh pertambangan itu pernah mengalami perjumpaan dan diberi pemahaman komunisme oleh Tan Malaka paska pemberontakan orang-orang komunis di Banten pada tahun 1926.
Dalam disertasi Sulasman dengan judul Sukabumi Masa Revolusi disebutkan Tan Malaka sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para buruh pertambangan. Ia menyembunyikan identitas pribadinya dengan menggunakan nama samaran: Ilyas Husen.[9] Komunisme dan pandangan-pandangan Tan Malaka disebarkan oleh para buruh asal Sukabumi yang menjadi kader-kader politiknya melalui lembaga baru sebagai akibat dari perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam (SI) yaitu Sarekat Rakyat.
Kedatangan para tokoh nasionalis dari pusat menjadi salah satu faktor perkembangan nasionalisme di Sukabumi. Pandangan dan pemikiran para tokoh nasionalis itu lebih banyak memengaruhi para elit Sukabumi. Para elit Sukabumi dapat dengan mudah memiliki akses terhadap tokoh-tokoh nasionalis karena kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan menak,[10] baik menak lama [11] atau juga menak baru.[12] Para elit Sukabumi [13] dari kaum menak itu dapat dengan mudah bersentuhan  dengan tokoh-tokoh nasionalis karena secara strata sosial, kaum menak merupakan kelompok sosial dari kalangan aristokrat , telah hampir dua abad secara turun-temurun memegang kendali birokrasi tradisional.
Sampai abad ke-19, pemerintah Belanda memberlakukan sistem pemerintahan tidak langsung, setiap menak atau birokrat diberikan keleluasaan untuk mengatur kehidupan sosial di wilayahnya. Sampai pada tahun 1942, birokrasi benar-benar dipegang dan  dikendalikan oleh para elit yang telah direkayasa oleh pemerintah Belanda.[14]  
Dengan melihat  berbagai  latar belakang ideologi yang dianutnya, elit Sukabumi ini dibagi ke dalam beberapa kelompok, KH. Ahmad Sanoesi, KH. Atjoen Basoeni, Sasmiatmadja, dan Saleh Basarah dari kelompok Islam. Waluyo dan Mr.  Harun sebagai bagian dari kelompok sosialis. Sambik dari kelompok komunis. Didi Soekardi, Edeng Abdullah, dan Mr. Samsoedin dari nasionalis.
Selain dikelompokkan berdasarkan latar belakang ideologi,  pada tahun 1945, sebelum Indonesia merdeka, para elit Sukabumi juga dikelompokkan ke dalam kelompok tua dan muda. Tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di pusat, kedua kelompok ini juga memiliki pandangan berbeda tentang cara mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.
Kelompok tua cenderung memberikan pandangan pengambilan kekuasaan dari Jepang harus dilakukan secara damai untuk menghindari kekerasan apalagi sampai terjadi pertumpahan darah. Pandangan dari kelompok tua seperti ini dipengaruhi oleh latar belakang mereka,  rata-rata dari mereka merupakan kaum pergerakan bekas anggota tentara Heiho dan PETA bentukan Jepang.
Berbeda  pandangan  dengan kelompok tua, kelompok muda menginginkan  dengan sesegera mungkin kekuasaan diambil alih  atau direbut dari Jepang. Para tokoh kelompok muda seperti Edeng Abdullah, Ading Rifa’i, Waluyo, dan H. Oting menekankan agar kekuasaan dengan segera diambil alih dari Jepang.
Perbedaan pandangan ini dapat diredam,  kelompok tua dan kelompok muda mengadakan pertemuan bersama tokoh-tokoh pejuang baik dari kalangan tokoh pemuda, mantan Pembela Tanah Air, birokrat, dan tokoh agama. Hasil dari pertemuan itu adalah  pendelegasian KH. Atjoen Basoeni untuk meminta penyerahan kekuasaan secara damai kepada Syucokan di Bogor.
Para tokoh pergerakan juga memutuskan jika permohonan penyerahan kekuasaan secara damai itu tidak berhasil, maka akan dilakukan pengambilalihan kekuasaan secara paksa melalui gerakan massa yang diserahkan kepada Waluyo, Damanhooeri, Edeng Abdullah, dan para pimpinan BKR di masing-masing kecamatan.




[1] Terutama H. Hamami Drajat, H. Marwan Hamami, dan H. Andri Setiawan Hamami.
[2] Paparan panjang  Louis Gottschalk mengenai hal ini yaitu: Setiap orang dewasa yang normal mengetahui, telah membaca, dan telah menulis cukup sejarah untuk menemukan ilustrasi yang sesuai mengenai sebagian besar masalah yang dibahas di dalam buku ini (Mengerti Sejarah, pen). Orang dewasa yang normal mempunyai ingatan yang meliputi pengalaman selama beberapa tahun. Selama pengalaman itu ia telah membaca dan mendengar banyak dokumen sejarah, diantaranya surat kabar, surat-surat, dokumen resmi, dokumen hukum, pengumuman radio, pidato-pidato politik, statistik resmi, iklan, dan percakapan biasa.  Ia telah pula menuliskan banyak dokumen sejarah potensial, seperti latihan sekolah,  laporan pajak,  surat pribadi dan surat dinas, pidato, catatan di dalam  buku-catatan atau pada secarik kertas, komentar pada pinggiran buku  yang telah dibacanya, daftar pengeluaran uang, anggaran belanja rumah tangga, isian di dalam jurnal dan buku besar, rekening dan pesanan pada toko-toko, notulen rapat perkumpulannya, kartu-kartu  score, isian buku harian, dan lain-lain. Satu di antara hal-hal tersebut jika jatuh ke tangan sejarawan yang berminat kepadanya atau kepada tempat di mana ia tinggal, atau kepada masa ketika ia hidup, atau pada kegiatan yang pernah dilakukannya, dapat menjadi suatu sumber pengetahuan, betapa pun sedikit dan tidak dapat dipercaya, orang-orang yang membuang rekening tua yang menyangkut rumah tangga atau perusahaan dalam zaman mesir purbakala ribuan tahun yang lalu, agaknya tidak memikirkan sejarawan zaman sekarang.
Namun dari beberapa carik kertas tua mereka (papyrus) sarjana-sarjana sekarang mengetahui banyak mengenai rumah tangga,  lembaga-lembaga, cara-cara usaha,  harga-harga dan hidup sehari-hari dari suatu zaman yang telah lama atau  lampau, yang tanpa kertas-kertas itu akan tetap tidak diketahui. Nama seorang klerk yang tidak dikenal atau seorang buruh rendahan, jika ditemukan pada sehelai papyrus, dicatat barangkali untuk selama-lamanya, akan tetapi nama tuan-tuan yang berkuasa dan penakluk-penakluk besar akan hilang untuk selama-lamanya jika nama-nama itu tidak tercatat di manapun atau jika catatannya telah hilang. Setiap orang bukan  saja merupakan seorang sejarawan yang harus menyusun sejarahnya  sendiri untuk pengertiannya sendiri (meskipun hal itu dilakukan  hanya di dalam pikirannya saja),tetapi ia juga mempunyai kans  untuk termasuk di antara mereka yang catatan-catatannya akan menarik minat sejarawan dari masa  ratusan atau ribuan tahun yang akan datang  dan dengan demikian akan memperoleh  keabadian yang mungkin tidak akan diperoleh oleh orang orang sezamannya yang lebih terkemuka. Lihat Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah Terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UIP, 2006), hal. 22.
[3] Ulama telah membangun tugas-tugas mereka (kemasyarakatan;pen) secara sistematis melalui lembaga-lembaga yang didirikan oleh keluarga untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Lembaga pesantren secara tradisional dikhususkan mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat Islam seperti melatih kader-kader ulama. Madrasah telah membekali ulama, untuk secara langsung mencapai muslim-muslim perdesaan dan mengabadikan kesetiaan muslim perdesaan pada kepercayaan agama. Lembaga pendidikan tinggi modern yang diciptakan sekarang ini telah menunjukkan upaya ulama untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin intelektual muslim setempat. Mereka inilah yang siap melayani kebutuhan masyarakat desa sekarang. Lihat Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Guna Aksara, 1987), hal. 146.
[4] Mengenai sejarah hidup  KH. Ahmad Sanoesi, lihat Munandi Saleh, KH. Ahmad Sanoesi, (Sukabumi, PP. Syamsul Ulum, 2013).
[5] Mastuki, Dkk, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakralawa Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hal. 16.
[6] Yang terjadi dengan Islam tradisional di Jawa, semakin besarnya pengikut para kyai sejak masuknya Islam ke Jawa sampai dengan abad ini adalah merupakan salah satu bukti bahwa Islam tradisional di Jawa memiliki vitalitas. Suatu kekuatan sosial, kultural, dan keagamaan yang mempunyai vitalitas tidak mungkin beku tanpa mengalami perubahan. Pandangan ‘konservatif’ daripada kyai bukannya menghasilkan sistem yang statis, tetapi suatu sistem di mana perubahan-perubahan yang dilakukan terjadi secara pelan-pelan dan melalui tahap-tahap yang tidak mudah diamati. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 1-2.
[7] Imtihan merupakan kegiatan tahunan para santri atau murid madrasah sebagai bukti mereka akan naik tingkat atau kelas. Sampai sekarang, kegiatan itu masih dilakukan oleh sekolah atau madrasah yang berbasis keagamaan. Pada tahun 2000-an, imtihan atau samen sebagai seremonial kenaikan kelas juga telah biasa dilakukan oleh sekolah-sekolah dasar di Sukabumi. Upacara ini merupakan salah satu bentuk rasa syukur dari warga sekolah sebagai tanda keberhasilan mennuntut ilmu pada sebuah lembaga.
[8] Sulasman, “ Sukabumi Masa  Revolusi 1945 – 1946”, (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2007), hal. 9.
[9] Sulasman, “ Sukabumi Masa Revolusi…”, hal. 9
[10] Menak adalah kelompok aristokrasi lokal di Jawa Barat. Menak Sukabumi rata-rata merupakan keturunan menak  dari daerah Priangan kemudian diangkat menjadi pejabat di Sukabumi pada waktu itu baik ketika Sukabumi masih merupakan bagian dari Cianjur atau setelah Sukabumi menjadi daerah otonom-Kota Praja (Stadgmentee).
[11] Menak lama merupakan keturunan langsung dari menak-menak sebelumnya, saat dilahirkan status tersebut langsung melekat pada dirinya. Menak lama merupakan elit tertinggi dalam sistem stratifikasi sosial di Jawa Barat atau Sunda. Menak lama dari keturunan bupati atau keluarga dekatnya disebut juga sebagai menak pangluhurna.
[12] Menak baru merupakan kelompok elit yang dihasilkan oleh ikhtiar mereka setelah menempuh pendidikan formal. Menak baru ini biasa disebut juga menak berpendidikan atau priyayi intelektual.
[13] Kalangan elit Sukabumi itu antara lain Didi Soekardi, Emo Hardja, Suradiradja, KH. Ahmad Sanoesi, Eddie Soekardi, Edeng Abdullah, Soebarna, Sasmiatmadja, Saleh Basarah. Lihat Sulasmas, Sukabumi Masa Revolusi 1945-1946, hal. 10.
[14] Nina Herlina Lubis, “ Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942”, (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hal. 36.

Informasi Lainnya

Berlangganan