KISAH-kisah Keluarga Hamami berasal dari beberapa wawancara dengan beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Keluarga Hamami dan berdasarkan studi kepustakaan (library research). Bagian-bagian dalam tulisan ini akan terus diupdate hingga terkumpul menjadi sebuah kisah utuh sebagai bentuk sejarah sampingan dalam bingkai His Story. -Kang Warsa (Penulis)-.
Kemajemukan Sukabumi
DALAM memaparkan biografi sebuah
keluarga atau seorang tokoh tidak pernah
lepas dari pengambilan, pengolahan, dan pendeskripsian data yang melibatkan tokoh
yang ditulis serta orang-orang yang terhubung dengan tokoh tersebut, terutama keluarga inti. Keluarga sebagai
basis ideal pembentukan individu dan masyarakat memiliki inti kohesi yang
saling tarik dan mengikat dengan kuat, hubungan secara vertikal di dalam
keluarga inti antara kakek-ayah-anak-cucu. Menulis biografi keluarga serta
tokoh-tokoh dalam keluarga itu tidak hanya pelik dan sulit, karena data yang
didapat melalui berbagai pendekatannya sering bersifat acak, bisa dikatakan berserakan
seperti sebuah permainan puzzle.
Penulisan
biografi Keluarga Hamami dilakukan oleh penulis melalui rangkaian
proses panjang diawali dengan mendeskripsikan kondisi sosial yang berlangsung
di daerah keluarga dan di lingkungan tokoh tersebut tinggal atau hidup. Umapamanya
memaparkan sepak terjang dan kontribusi H. Oting serta keluarganya [1] di
Sukabumi , diawali dengan pendeskripsian berbagai data yang saling terhubung
atau memiliki korelasi antara satu persitiwa dengan persitiwa lainnya dan adanya
hubungan dengan obyek kajian (tokoh dan keluarga).
Menjadi
satu alasan, bahwa orang dewasa yang normal mempunyai ingatan yang meliputi
pengalaman selama beberapa tahun. Selama pengalaman itu ia telah membaca dan mendengar
banyak dokumen sejarah, di antaranya surat kabar, surat-surat, dokumen resmi, dokumen
hukum, pengumuman radio, pidato-pidato politik, statistik resmi, iklan, dan
percakapan biasa. Artinya “Every Man His Own Historian”.[2]
Penulisan
biografi Keluarga Hamami ini diawali terlebih dahulu dengan satu
paparan panjang tentang kondisi daerah asal (Sukabumi) sebagai tempat obyek
penelitian mengabdikan hidupnya bagi daerahnya itu. Secara makro,
awal abad ke-20 ditandai oleh gejolak perlawanan bangsa Indonesia terhadap
kolonialisme yang mewabah di negara-negara Asia dan Afrika membawa pengaruh
besar juga kepada Indonesia.
Perlawanan
kepada kolonialisme tidak lagi dilakukan secara sporadis dan bersifat
kedaerahan. Lahirnya organisasi dan kaum pergerakan telah
menyadarkan pentingnya perlawanan secara sistematis dan terstruktur terhadap
bangsa yang telah lama mengusai negara ini. Arus perlawanan ini bersifat
sentralistik, kaum pergerakan di pusat memengaruhi pergerakan-pergerakan yang
ada di daerah. Organisasi dan lembaga dibentuk di pusat namun dengan tidak
mengabaikan bahwa basis atau embrio-embrio setiap organisasi berasal dari
bawah.
Dalam
tataran mikro, pengaruh gerakan arus atas perlawanan terhadap kolonialisme
di pusat begitu jelas terjadi juga di
Sukabumi. Gerakan perlawanan terhadap
penjajah ini merupakan kesadaran baru di daerah seperti Sukabumi yang
dilatarbelakangi oleh faktor sosial, kultural,
dan politik. Peristiwa makro di Indonesia pada awal
pra-kemerdekaan benar-benar memiliki pengaruh terhadap kondisi mikro di daerah,
khususnya di Sukabumi mengingat daerah ini sangat strategis sebagai daerah
komunikasi antara wilayah Priangan dengan Batavia. Hal lainnya, daerah
perkebunan merupakan sebutan yang mengikat erat Sukabumi dengan pemerintah kolonial, daerah
perkebunan ini menjadi andalan finansial atau perekonomian pemerintah kolonial dengan perusahaan-perusahaannya.
Begitu
penting Sukabumi bagi pemerintah kolonial, tiga puluh satu tahun sebelum
Indonesia merdeka, Sukabumi dijadikan Gementee
oleh pemerintah Belanda pada tanggal 1 April 1914. Stadgementee disematkan kepada kota
dengan jumlah penduduk baru mencapai 23.530 orang itu pada tanggal 1 Mei 1926, Mr.
G. F. Rambonet sebagai Burgemeester
pertama. Bahkan, Sukabumi dijadikan daerah buangan politik oleh pemerintah
Belanda.
Dengan
dibuangnya tokoh-tokoh politik nasional ke Sukabumi ini pada akhirnya memberi
pengaruh terhadap pemikiran orang-orang yang “telah tercerahkan” di Sukabumi. Tokoh-tokoh
nasional yang pernah dibuang ke Sukabumi karena ketakutan pemerintah Belanda
antara lain; Cut Nyak Dien, saat itu Sukabumi masih menjadi wilayah bagian dari
Cianjur. Tokoh lainnya seperti Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Sampai
tahun 1980-an, sebutan ‘Kota Santri’ begitu melekat dengan Sukabumi. hal itu disebabkan secara
kultural telah terbentuk kelompok sosial baru, tokoh agama yaitu kyai atau ajengan yang dihasilkan oleh pranata keagamaan seperti
pesantren dan madrasah. Keberadaan beberapa pesantren di
pusat kota hingga pelosok ini menjadi satu alasan daerah ini disebut kota
santri. Dalam penelitiannya, Horikoshi menyebutkan, kelompok sosial seperti kyai dan ajengan ini jelas sekali memiliki pengaruh signifikan terhadap
perubahan sosial di sebuah masyarakat.[3] Kyai atau ajengan tidak hanya memiliki pengaruh karena sebagai orang yang
paling mengetahui dan mengerti keagamaan, lebih dari itu kelompok sosial baru
ini memiliki kharisma dan dihormati oleh masyarakat, juga memegang peran
penting dalam persoalan politik di Sukabumi.
Kyai atau ajengan yang memiliki pengaruh besar di Sukabumi ini antara lain; KH. Ahmad Sanoesi, [4]
sebagai seorang kyai yang memegang simbol pergerakan Islam dalam
menentang dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pesantren Cipoho memiliki KH.
Muhammad Basoeni, seorang kyai atau ajengan yang
sangat disegani di daerah itu. KH. Abdurakhim dari Cantayan, KH. Muhammad Anwar
dari Salajambe, KH. Masthuro dari Tipar Cisaat, KH. Muhammad Sidik dari
Sukamantri, KH. Badrudin dari Kadudampit, KH. Muhammad Hasan Basri dari
Cicurug, KH. Sulaeman dari Sudajayahilir, dan sejumlah kyai atau ajengan yang memegang peran sentral pegerakan umat dalam melawan
kebijakan pemerintah Belanda yang bersifat elitis.
Tanpa
kita sadari, pada masa ini telah terbentuk jaringan intelektual pesantren yang
terlihat dalam upaya dan sepak terjang para kyai
atau ajengan melalui berbagai lembaga
keagamaan. Menurut Mastuki, kyai dan ajengan ini sejak abad ke-18 M secara
terus-menerus mengembangkan jaringannya ke seluruh pelosok nusantara. [5]
Pesantren
merupakan lembaga atau pranata keagamaan yang memiliki peran penting dalam
pergerakan melawan pemerintah Belanda, penelitian Horikoshi tentang kyai atau ajengan dilengkapi oleh Zamakhsyari Dhofier yang mendeskripsikan dengan lengkap bagaimana
jaringan pesantren dan kyai ini telah membentuk bola salju
kemudian secara perlahan menggelinding melawan pemerintah Belanda. Jauh
sebelumnya, pada abad ke-19 M, pemerintah Belanda sebetulnya telah menjalankan
strategi bagaimana cara mengendalikan bola salju liar ini agar tidak
menggelinding ke sana ke mari, dalam arti bergerak meninggalkan stagnasi diri
dan memiliki vitalitas mencairkan kebekuan yang sering dialamatkan kepada
lembaga pesantren dan kyai atau ajengan tradisional. [6]
Pemerintah
Belanda melalui kebijakan pencatatan orang-orang yang
pergi menunaikan ibadah haji berusaha
mengendalikan pergerakan para kyai atau ajengan. Belanda mengetahui bahwa
jaringan kyai atau ajengan ini tidak hanya terjadi dalam
sakala lokal, secara global juga telah terbentuk jaringan kyai di dunia ini. Konsolidasi yang terjadi dan sering disuarakan
dalam jejaring kyai global di era
kolonialisme dan imperialisme adalah bagaimana cara memerdekakan daerah atau
negaranya. Apalagi pemerintah Belanda atau kaum kolonial lainnya memiliki
keyakinan berbeda dengan penduduk daerah jajahan. Pergerakan kyai atau ajengan ini menjadi cikal
bakal revolusi di Sukabumi.
Perkembangan
politik di pusat di mana terjadi pengelompokkan ideologi dan pemikiran antara
satu tokoh satu dengan tokoh lainnya lambat laun memengaruhi kelompok-kelompok
pergerakan di Sukabumi. Secara umum, pergerakan melawan
pemerintah Belanda hingga menurunkan pemerintah Jepang di
Sukabumi dipengaruhi oleh ideologi dan pemikiran; Islam, Nasionalis, Sosialis,
dan Komunis. Kyai atau ajengan jelas sekali dipengaruhi oleh pemikiran
pembebasan dari ketertindasan yang sangat nyata dijelaskan baik di dalam dalil
naqli (al-Quran) dan hadits nabi.
Berdirinya
Sarekat Islam telah membawa arah baru terhadap penafsiran al-Quran dan Hadits,
Islam tidak hanya berkembang secara kultural dan mengamalkan tradisi juga telah
memasuki wilayah ideologi dan pemikiran. KH. Ahmad Sanoesi menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Sukabumi
pada tahun 1919-1920.
Tokoh-tokoh
pergerakan nasional datang di Sukabumi menjelang kemerdekaan. Kedatangan para tokoh
pergerakan di Sukabumi ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Sukabumi membina atau
melakukan kaderisasi tentang arti penting kemerdekaan bagi Sukabumi sebagai
bagian dari Indonesia. Sosialisasi bahkan infiltrasi semangat nasionalisme ini
dilakukan oleh para tokoh nasional di acara-acara seperti diskusi kelompok,
para santri diwajibkan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada pembukaan kegiatan
imtihan atau samen[7].
Diskusi
politik juga diikuti oleh tokoh-tokoh Sukabumi baik tua maupun muda. Mentor
atau narasumber pemberi materi dalam diskusi politik itu antara lain; Arudji
Kartawinata, Adam Malik, Muhammad Hatta, dan H. Abdul Karim. Konsentrasi
kegiatan itu diselenggarakan di daerah-daerah vital seperti Cikole dan
Lembursitu.[8]
Penafsiran
Islam dan pengimplementasiannya dari kultural-tradisional kea rah pemikiran dan
idelogi telah mengubah cara pandang pera tokoh Islam sendiri. Pemikiran dan idelogi
meskipun dipengaruhi oleh ajaran Islam tetap saja merupakan produk budaya,
hasil kreasi manusia yang tidak bisa lepas dari saling silang atau persilangan
dengan pemikiran atau idelogi lain.
Adanya
kemiripan antara dasar-dasar persamaan dalam sosialisme dan komunisme telah
melahirkan dua kubu dalam Sarekat Islam, SI Putih yang dipertahankan oleh tokoh
Islam, dan SI Merah yang digagas oleh tokoh Sosialis-Komunis yang beragama
Islam. Akibat dari perpecahan Sarekat Islam ini, Komunisme mulai dikenal di
Sukabumi. Pada tahun 1925, Sarekat Islam
Cabang Sukabumi juga terpecah menjadi dua kelompok, Sarekat Islam dan Sarekat
Rakyat.
Selama
dua puluh tahun terbentuknya Sarekat Rakyat, pemikiran komunisme berkembang di
Sukabumi. Perkembangan pemikiran
komunisme tidak terlepas dari aktivitas para buruh pertambangan asal Sukabumi
yang bekerja di daerah Cikotok Bayah. Para buruh pertambangan itu pernah
mengalami perjumpaan dan diberi pemahaman komunisme oleh Tan Malaka paska
pemberontakan orang-orang komunis di Banten pada tahun 1926.
Dalam
disertasi Sulasman dengan judul Sukabumi Masa Revolusi disebutkan Tan Malaka
sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para buruh pertambangan. Ia
menyembunyikan identitas pribadinya dengan menggunakan nama samaran: Ilyas
Husen.[9]
Komunisme dan pandangan-pandangan Tan Malaka disebarkan oleh para buruh asal
Sukabumi yang menjadi kader-kader politiknya melalui lembaga baru sebagai
akibat dari perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam (SI) yaitu Sarekat Rakyat.
Kedatangan
para tokoh nasionalis dari pusat menjadi salah satu faktor perkembangan
nasionalisme di Sukabumi. Pandangan dan pemikiran para
tokoh nasionalis itu lebih banyak memengaruhi para elit Sukabumi. Para elit
Sukabumi dapat dengan mudah memiliki akses terhadap tokoh-tokoh nasionalis
karena kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan menak,[10]
baik menak lama [11]
atau juga menak baru.[12] Para
elit Sukabumi [13]
dari kaum menak itu dapat dengan mudah bersentuhan dengan tokoh-tokoh nasionalis karena secara
strata sosial, kaum menak merupakan kelompok sosial dari kalangan aristokrat , telah hampir dua abad secara turun-temurun
memegang kendali birokrasi tradisional.
Sampai
abad ke-19, pemerintah Belanda memberlakukan sistem pemerintahan tidak
langsung, setiap menak atau birokrat diberikan keleluasaan untuk mengatur
kehidupan sosial di wilayahnya. Sampai pada tahun 1942, birokrasi benar-benar
dipegang dan dikendalikan oleh para elit
yang telah direkayasa oleh pemerintah Belanda.[14]
Dengan
melihat berbagai latar belakang ideologi yang dianutnya, elit
Sukabumi ini dibagi ke dalam beberapa kelompok, KH.
Ahmad Sanoesi, KH. Atjoen Basoeni, Sasmiatmadja, dan Saleh Basarah
dari kelompok Islam. Waluyo dan Mr. Harun sebagai bagian dari kelompok sosialis.
Sambik dari kelompok komunis. Didi Soekardi, Edeng Abdullah, dan Mr. Samsoedin dari nasionalis.
Selain
dikelompokkan berdasarkan latar belakang ideologi, pada tahun 1945, sebelum Indonesia merdeka,
para elit Sukabumi juga dikelompokkan ke dalam kelompok tua dan
muda. Tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di pusat, kedua kelompok
ini juga memiliki pandangan berbeda tentang cara mengambil alih kekuasaan dari
tangan Jepang.
Kelompok
tua cenderung memberikan pandangan pengambilan kekuasaan dari Jepang harus
dilakukan secara damai untuk menghindari kekerasan apalagi sampai terjadi
pertumpahan darah. Pandangan dari kelompok tua seperti ini dipengaruhi oleh
latar belakang mereka, rata-rata dari
mereka merupakan kaum pergerakan bekas anggota tentara Heiho dan PETA bentukan
Jepang.
Berbeda
pandangan dengan kelompok tua, kelompok muda
menginginkan dengan sesegera mungkin
kekuasaan diambil alih atau direbut dari
Jepang. Para tokoh kelompok muda seperti Edeng Abdullah, Ading Rifa’i, Waluyo, dan H. Oting menekankan agar kekuasaan dengan segera
diambil alih dari Jepang.
Perbedaan
pandangan ini dapat diredam, kelompok
tua dan kelompok muda mengadakan pertemuan bersama tokoh-tokoh pejuang baik
dari kalangan tokoh pemuda, mantan Pembela Tanah Air, birokrat, dan tokoh
agama. Hasil dari pertemuan itu adalah pendelegasian KH. Atjoen Basoeni untuk meminta
penyerahan kekuasaan secara damai kepada Syucokan di Bogor.
Para
tokoh pergerakan juga memutuskan jika permohonan penyerahan kekuasaan secara
damai itu tidak berhasil, maka akan dilakukan pengambilalihan kekuasaan secara
paksa melalui gerakan massa yang diserahkan kepada Waluyo, Damanhooeri, Edeng
Abdullah, dan para pimpinan BKR di masing-masing kecamatan.
[1] Terutama H.
Hamami Drajat, H. Marwan Hamami, dan H. Andri Setiawan Hamami.
[2] Paparan
panjang Louis Gottschalk mengenai hal
ini yaitu: Setiap orang dewasa yang normal mengetahui, telah membaca, dan telah
menulis cukup sejarah untuk menemukan ilustrasi yang sesuai mengenai sebagian
besar masalah yang dibahas di dalam buku ini (Mengerti Sejarah, pen). Orang
dewasa yang normal mempunyai ingatan yang meliputi pengalaman selama beberapa
tahun. Selama pengalaman itu ia telah membaca dan mendengar banyak dokumen
sejarah, diantaranya surat kabar, surat-surat, dokumen resmi, dokumen hukum,
pengumuman radio, pidato-pidato politik, statistik resmi, iklan, dan percakapan
biasa. Ia telah pula menuliskan banyak
dokumen sejarah potensial, seperti latihan sekolah, laporan pajak, surat pribadi dan surat dinas, pidato,
catatan di dalam buku-catatan atau pada
secarik kertas, komentar pada pinggiran buku
yang telah dibacanya, daftar pengeluaran uang, anggaran belanja rumah
tangga, isian di dalam jurnal dan buku besar, rekening dan pesanan pada
toko-toko, notulen rapat perkumpulannya, kartu-kartu score,
isian buku harian, dan lain-lain. Satu di antara hal-hal tersebut jika jatuh ke
tangan sejarawan yang berminat kepadanya atau kepada tempat di mana ia tinggal,
atau kepada masa ketika ia hidup, atau pada kegiatan yang pernah dilakukannya,
dapat menjadi suatu sumber pengetahuan, betapa pun sedikit dan tidak dapat
dipercaya, orang-orang yang membuang rekening tua yang menyangkut rumah tangga
atau perusahaan dalam zaman mesir purbakala ribuan tahun yang lalu, agaknya
tidak memikirkan sejarawan zaman sekarang.
Namun dari beberapa carik kertas tua
mereka (papyrus) sarjana-sarjana sekarang mengetahui banyak mengenai
rumah tangga, lembaga-lembaga, cara-cara
usaha, harga-harga dan hidup sehari-hari
dari suatu zaman yang telah lama atau
lampau, yang tanpa kertas-kertas itu akan tetap tidak diketahui. Nama
seorang klerk yang tidak dikenal atau seorang buruh rendahan, jika
ditemukan pada sehelai papyrus, dicatat barangkali untuk selama-lamanya,
akan tetapi nama tuan-tuan yang berkuasa dan penakluk-penakluk besar akan
hilang untuk selama-lamanya jika nama-nama itu tidak tercatat di manapun atau
jika catatannya telah hilang. Setiap orang bukan saja merupakan seorang sejarawan yang harus
menyusun sejarahnya sendiri untuk
pengertiannya sendiri (meskipun hal itu dilakukan hanya di dalam pikirannya saja),tetapi ia
juga mempunyai kans untuk termasuk di
antara mereka yang catatan-catatannya akan menarik minat sejarawan dari
masa ratusan atau ribuan tahun yang akan
datang dan dengan demikian akan
memperoleh keabadian yang mungkin tidak
akan diperoleh oleh orang orang sezamannya yang lebih terkemuka. Lihat Louis
Gottschalk, Mengerti Sejarah Terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta:
UIP, 2006), hal. 22.
[3] Ulama telah
membangun tugas-tugas mereka (kemasyarakatan;pen) secara sistematis melalui
lembaga-lembaga yang didirikan oleh keluarga untuk menjalankan fungsi-fungsinya.
Lembaga pesantren secara tradisional dikhususkan mempersiapkan
pemimpin-pemimpin masyarakat Islam seperti melatih kader-kader ulama. Madrasah
telah membekali ulama, untuk secara langsung mencapai muslim-muslim perdesaan
dan mengabadikan kesetiaan muslim perdesaan pada kepercayaan agama. Lembaga
pendidikan tinggi modern yang diciptakan sekarang ini telah menunjukkan upaya
ulama untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin intelektual muslim setempat. Mereka
inilah yang siap melayani kebutuhan masyarakat desa sekarang. Lihat Hiroko
Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta:
CV. Guna Aksara, 1987), hal. 146.
[4] Mengenai sejarah
hidup KH. Ahmad Sanoesi, lihat Munandi
Saleh, KH. Ahmad Sanoesi, (Sukabumi, PP. Syamsul Ulum, 2013).
[5] Mastuki, Dkk, Intelektualisme
Pesantren: Potret Tokoh dan Cakralawa Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta:
Diva Pustaka, 2003), hal. 16.
[6] Yang terjadi
dengan Islam tradisional di Jawa, semakin besarnya pengikut para kyai sejak
masuknya Islam ke Jawa sampai dengan abad ini adalah merupakan salah satu bukti
bahwa Islam tradisional di Jawa memiliki vitalitas. Suatu kekuatan sosial,
kultural, dan keagamaan yang mempunyai vitalitas tidak mungkin beku tanpa
mengalami perubahan. Pandangan ‘konservatif’ daripada kyai bukannya menghasilkan
sistem yang statis, tetapi suatu sistem di mana perubahan-perubahan yang
dilakukan terjadi secara pelan-pelan dan melalui tahap-tahap yang tidak mudah
diamati. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.
1-2.
[7] Imtihan
merupakan kegiatan tahunan para santri atau murid madrasah sebagai bukti mereka
akan naik tingkat atau kelas. Sampai sekarang, kegiatan itu masih dilakukan
oleh sekolah atau madrasah yang berbasis keagamaan. Pada tahun 2000-an, imtihan
atau samen sebagai seremonial kenaikan kelas juga telah biasa dilakukan oleh
sekolah-sekolah dasar di Sukabumi. Upacara ini merupakan salah satu
bentuk rasa syukur dari warga sekolah sebagai tanda keberhasilan mennuntut ilmu
pada sebuah lembaga.
[8] Sulasman, “
Sukabumi Masa
Revolusi 1945 – 1946”, (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, 2007), hal. 9.
[10] Menak adalah
kelompok aristokrasi lokal di Jawa Barat. Menak Sukabumi rata-rata merupakan keturunan menak dari daerah Priangan kemudian diangkat
menjadi pejabat di Sukabumi pada waktu itu baik ketika Sukabumi masih merupakan
bagian dari Cianjur atau setelah Sukabumi menjadi daerah otonom-Kota Praja
(Stadgmentee).
[11] Menak lama
merupakan keturunan langsung dari menak-menak sebelumnya, saat dilahirkan
status tersebut langsung melekat pada dirinya. Menak lama merupakan elit
tertinggi dalam sistem stratifikasi sosial di Jawa Barat atau Sunda. Menak lama
dari keturunan bupati atau keluarga dekatnya disebut juga sebagai menak
pangluhurna.
[12] Menak baru
merupakan kelompok elit yang dihasilkan oleh ikhtiar mereka setelah menempuh
pendidikan formal. Menak baru ini biasa disebut juga menak berpendidikan atau
priyayi intelektual.
[13] Kalangan elit
Sukabumi itu antara lain Didi Soekardi, Emo Hardja, Suradiradja, KH.
Ahmad Sanoesi, Eddie Soekardi, Edeng Abdullah, Soebarna, Sasmiatmadja, Saleh
Basarah. Lihat Sulasmas, Sukabumi Masa Revolusi 1945-1946, hal. 10.
[14] Nina Herlina
Lubis, “ Kehidupan Kaum Menak Priangan
1800-1942”, (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hal. 36.